FKP dengan tuan rumah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kamis 09 Januari 2025 dengan pemateri Professor Endah Saptutyningsih (FEB Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Tri Anggoro (FEB Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan Pembahas Eri Krimiyaningsih (Resilience Development Initiatives/ RDI).

Perubahan iklim telah menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian, terutama di daerah tropis seperti Indonesia. Di Ambarawa, Jawa Tengah, wilayah yang bergantung pada pertanian, perubahan pola curah hujan yang tidak menentu dan banjir musiman telah menyebabkan kerugian signifikan. Sebagai salah satu kontributor utama produksi padi di Kabupaten Semarang, penurunan hasil panen akibat banjir mengakibatkan kerugian bagi petani dan juga mengancam ketahanan pangan.  Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk melakukan mitigasi dampak perubahan iklim. Namun upaya mitigasi risiko dampak memerlukan investasi. Dalam seminar ini, Professor Endah Saptutyningsih (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan Tri Anggoro (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) mempresentasikan penelitian yang menghitung berapa besar willingness to pay (WTP) petani untuk upaya mitigasi risiko iklim, dan bagaimana modal sosial mempengaruhi besaran WTP tersebut. Penelitian ini dilaksanakan dengan survei terhadap 270 petani di daerah Rawa Pening, Ambarawa, Jawa Tengah.

Penelitian ini menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) dengan pendekatan Double-Bounded Dichotomous Choice untuk mengukur kesediaan petani dalam mendukung mitigasi perubahan iklim di Ambarawa. Survei diawali dengan konsultasi bersama 20 ketua kelompok tani untuk menentukan nilai dasar kontribusi, yang didasarkan pada iuran rutin kelompok tani, yaitu Rp10.000 per bulan sebagai harga reservasi awal (reservation price). Dalam survei, petani diminta menyatakan kesediaan mereka untuk membayar kontribusi sebesar nilai dasar tersebut. Jika setuju, mereka ditawarkan kontribusi yang lebih tinggi hingga batas maksimum Rp30.000. Dana yang dikumpulkan melalui mekanisme iuran komunitas direncanakan untuk mendukung pembangunan tanggul kecil, penyediaan pompa air, alat penyedot, serta pelatihan mitigasi perubahan iklim bagi petani. Metode ini juga mengintegrasikan skenario berbasis kebutuhan lokal untuk menghindari bias yang sering muncul dalam bidding game, seperti tawaran terlalu rendah atau terlalu tinggi.  

Dalam survei ditemukan bahwa 71,9% responden bersedia memberikan kontribusi finansial dengan rata-rata Rp 21.500 per bulan, menghasilkan potensi kontribusi tahunan sebesar Rp 50 juta. Dana ini dapat digunakan untuk membangun infrastruktur mitigasi seperti tanggul dan pompa air. Tri Anggoro menjelaskan bahwa sistem irigasi berbasis kepercayaan dan metode pertanian tradisional di Ambarawa menunjukkan bagaimana kearifan lokal dapat mendukung keberlanjutan sektor pertanian. Namun, ia juga menekankan bahwa adaptasi lokal saja tidak cukup untuk mengatasi dampak perubahan iklim tanpa dukungan teknologi dan infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya integrasi yang lebih baik antara inisiatif komunitas dan kebijakan pemerintah untuk menciptakan solusi mitigasi yang berkelanjutan.

Professor Endah Saptutyningsih melengkapi presentasi ini dengan membahas lebih dalam tentang faktor-faktor terkait modal sosial yang mempengaruhi WTP petani. Variabel modal sosial dalam penelitian ini direpresentasikan melalui tiga elemen utama salah satunya yaitu partisipasi dalam komunitas yang mengukur sejauh mana petani terlibat dalam kegiatan kelompok masyarakat, seperti kelompok tani (poktan) atau gotong royong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam komunitas, kepercayaan antar individu, persepsi risiko perubahan iklim, usia, pendidikan, dan pendapatan merupakan elemen signifikan. Partisipasi dalam komunitas memiliki pengaruh terbesar, dengan peningkatan kemungkinan hingga lima kali lipat bagi petani yang aktif dalam kegiatan komunitas untuk mendukung mitigasi. Kepercayaan antar individu juga menjadi pendorong utama, meningkatkan probabilitas dukungan sebesar 3,5 kali, sementara petani dengan persepsi tinggi terhadap risiko perubahan iklim cenderung lebih mendukung inisiatif mitigasi.

Dalam tanggapannya, Eri Krismiyaningsih  (Resilience Development Initiative/RDI) menyoroti relevansi modal sosial dalam strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Berdasarkan pengalaman penelitian di Sumba Timur, ia menunjukkan bahwa solidaritas komunitas dan gotong royong memainkan peran penting dalam memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat lokal. Ia juga menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah,  dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menciptakan strategi mitigasi yang inklusif dan berbasis pada kebutuhan lokal. Lebih lanjut, Eri menekankan pentingnya keterlibatan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan untuk memastikan legitimasi dan efektivitas mitigasi kebijakan.

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya tentang bagaimana memastikan keberlanjutan mekanisme iuran untuk mendanai inisiatif mitigasi, terutama ketika petani menghadapi tantangan ekonomi seperti gagal panen. Menjawab pertanyaan ini Tri Anggoro menjelaskan bahwa keberlanjutan dapat dicapai melalui skema iuran fleksibel yang memungkinkan kontribusi disesuaikan dengan kondisi ekonomi individu petani. Ia juga menekankan pentingnya pengelolaan dana yang transparan dan partisipasi aktif komunitas dalam pengambilan keputusan, yang dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan kepercayaan petani terhadap program tersebut. Pendekatan ini memastikan bahwa dukungan terhadap mekanisme iuran tetap kuat, bahkan di tengah tantangan ekonomi yang berat, dengan mengandalkan solidaritas dan kepercayaan di antara anggota komunitas.

Acara ini dihadiri oleh 56 peserta melalui zoom webinar dan 18 peserta melalui Youtube Live Streaming.

 

Download slides (Tri Anggoro at.al)