FKP dengan tuan rumah Badan Pusat Statistik dengan pembicara Dewi Krismawati, I Nyoman Setiawan, Valent Gigih Saputri, dan Ranu Yulianto (Badan Pusat Statistik/BPS dengan moderator Meisthya Pratiwi (FEB Universitas Udayana).

Perubahan iklim dan pertumbuhan aktivitas ekonomi menjadi dua tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga ketahanan pangan serta kualitas udara. Seminar ini membahas dua penelitian dari para statistisi BPS tentang dampak perubahan iklim terhadap produksi padi serta bagaimana peningkatan efisiensi pelabuhan di Batam justru berdampak pada peningkatan polusi udara.

Penelitian Dewi Krismawati, Nyoman Setiawan, dan Valent Gigih Saputri (BPS) mengkaji bagaimana perubahan pola cuaca sejak 2018 hingga 2024 berdampak terhadap produksi padi di seluruh provinsi Indonesia. Dengan menggunakan data citra satelit MODIS dan CHIRPS, data kebencanaan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta data produksi padi (dari hasil survei dan BPS), Dewi Krismawati mengungkap bahwa berdasarkan pemodelan yang tim lakukan, suhu merupakan faktor paling dominan dalam mempengaruhi hasil panen, diikuti oleh curah hujan dan kejadian bencana alam. Selain itu, hasil pemodelan statistik ANOVA dan regresi panel fixed effect menunjukkan bahwa produksi padi cenderung menurun pada suhu ekstrem dan kondisi cuaca yang tidak stabil. Hal ini didasarkan pada hasil survei ubinan BPS (survei yang dilakukan 3 kali setahun untuk mengumpulkan data produktivitas tanaman pangan), terutama di Sub-round 2 (Mei-Agustus) dan Sub-round 3 (September-Desember) yang mengalami penurunan paling tajam.

Sebagai langkah mitigasi, penelitian ini merekomendasikan kebijakan adaptasi berbasis teknologi untuk meningkatkan ketahanan produksi padi. Nyoman Setiawan menekankan perlunya pengembangan varietas unggul yang tahan suhu ekstrim, sistem irigasi yang lebih adaptif, serta penerapan asuransi pertanian guna melindungi petani dari kerugian akibat bencana. Sementara itu, Valent Gigih Saputri menekankan pentingnya kebijakan dari hulu ke hilir, seperti optimalisasi lahan rawa dan penerapan pola tanam yang fleksibel sesuai kondisi lokal. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan produksi padi tetap stabil meskipun menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin tidak menentu.

Dalam Sesi kedua, Ranu Yulianto (BPS) mempresentasikan hasil penelitiannya bersama Dhiar Niken Larasati tentang efisiensi operasional pelabuhan. Efisiensi operasional pelabuhan sering dikaitkan dengan pengurangan dampak lingkungan, tetapi data menunjukkan fenomena yang berlawanan dan  terjadi di delapan pelabuhan utama di Batam. Dengan menggunakan data dari Automatic Identification System (AIS) dan sumber lainnya, penelitian ini menemukan bahwa ketika waktu tunggu kapal mengalami penurunan karena adanya efisiensi operasional pelabuhan, volume lalu lintas kapal terutama kapal kargo dan tanker meningkat pesat, mencapai kenaikan 30–50% dalam periode 2019 hingga 2023. Akibatnya, emisi gas pencemar seperti sulfur dioksida (SO₂) dan nitrogen oksida (NOx) juga mengalami lonjakan, terutama karena mayoritas kapal masih menggunakan bahan bakar yang mengandung sulfur tinggi. Fenomena ini menciptakan “paradoks efisiensi” di mana peningkatan efektivitas operasional pelabuhan justru memperparah pencemaran udara akibat tingginya jumlah kapal yang beroperasi.

Untuk mengatasi tantangan ini, Ranu merekomendasikan beberapa strategi mitigasi, Salah satunya penerapan teknologi scrubber  yaitu sistem  yang dipasang pada kapal untuk menyaring emisi gas berbahaya, terutama sulfur dan partikel lain, sebelum dilepaskan ke atmosfer. Sistem ini bekerja dengan menangkap dan mengolah gas buang yang dihasilkan oleh mesin kapal, sehingga dapat mengurangi pencemaran udara. Selain itu, penelitian ini juga menyoroti peran aktivitas eksternal, seperti transportasi darat dan industri sekitar, yang memperburuk kondisi pencemaran. Dengan temuan ini, diharapkan pengelola pelabuhan dan pemangku kebijakan dapat merumuskan strategi berkelanjutan yang tidak hanya meningkatkan efisiensi logistik, tetapi juga menjaga kualitas lingkungan di kawasan pelabuhan, baik di Batam maupun di pelabuhan lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa.

Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta menyoroti peran suhu dalam penurunan produksi padi dan mempertanyakan mengapa penelitian menemukan suhu sebagai faktor paling signifikan, padahal tren suhu dari 2018 hingga 2024 cenderung menurun. Ia juga mempertanyakan apakah penelitian sudah mempertimbangkan degradasi lahan, mengingat alih fungsi lahan pertanian di Indonesia semakin masif. Tim peneliti menjelaskan bahwa dampak suhu lebih terlihat melalui anomali musiman, bukan hanya tren jangka panjang. Selain itu, meskipun degradasi lahan penting, penelitian ini lebih fokus pada variabel iklim, sementara faktor lain seperti alih fungsi lahan dan tata guna lahan dapat menjadi kajian lanjutan.

Download slides (Dewi Krismawati et al.)
Download slides (Ranu Yulianto)