FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan/ PSHK Kamis, 12 Desember 2024 dengan pembicara Alviani Salsabila (peneliti PSHK) dan Tessa Ardya (peneliti SAFEnet).  

Perkembangan pesat teknologi internet telah membawa dampak besar terhadap ruang sipil, mencakup aktivitas demokrasi, transaksi ekonomi, hingga pengelolaan layanan publik. Namun, meluasnya ruang digital ini juga memunculkan tantangan baru, terutama dalam memastikan bahwa pengaturan internet tetap sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks ini, pembahasan tentang tata kelola internet yang ideal tidak hanya membutuhkan perhatian terhadap aspek keamanan, tetapi juga perlindungan kebebasan berekspresi serta akses masyarakat terhadap internet yang bebas dan adil.

Alviani Salsabila (PSHK) menjelaskan bahwa perkembangan internet telah membawa ruang sipil ke ranah digital, memberikan peluang untuk partisipasi demokrasi yang lebih luas, transaksi bisnis yang lebih efisien, serta tata kelola publik yang lebih transparan. Meskipun demikian, tata kelola internet di Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan serius. Salah satunya adalah pengaturan yang tersebar di 13 undang-undang dengan total 153 pasal, yang sebagian besar bersifat sektoral dan lebih memprioritaskan kepentingan negara dibandingkan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, frasa multitafsir dalam regulasi seperti “menimbulkan keresahan masyarakat” dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sering kali digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi, yang justru berpotensi merugikan masyarakat.

Meskipun internet memberikan peluang untuk partisipasi demokrasi yang lebih luas,  peneliti SAFEnet Tessa Ardya menyoroti dua hal yang masih menjadi tantangan. Yang pertama, kelompok rentan seperti perempuan dan minoritas kerap menjadi sasaran ujaran kebencian dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kedua, infrastruktur keamanan siber di Indonesia sangat lemah sehingga sering terjadi kebocoran data, khususnya dari instansi pemerintah. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, kedua narasumber sepakat bahwa ada tiga prinsip utama yang harus dijunjung dalam tata kelola internet yang ideal. Salah satunya yaitu akses internet harus dijamin sebagai hak dasar yang mencakup kesetaraan akses, netralitas jaringan, dan inklusi digital. Namun, meskipun  prinsip ini sangat penting, implementasinya di Indonesia masih jauh dari ideal. Alviani Salsabila mengungkapkan bahwa sebagian besar regulasi internet yang ada cenderung condong pada aspek proteksi negara (52%) dibandingkan dengan akses internet (33%) dan kebebasan berekspresi (14%). Salah satu contoh nyata  adalah pemblokiran internet di Papua pada tahun 2019, yang dilakukan tanpa transparansi dan melanggar hak masyarakat untuk mengakses informasi secara bebas. Selain itu, kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis, seperti yang terjadi pada Daniel (aktivis lingkungan) dan Muhammad Asrul (jurnalis), memperlihatkan bahwa kebebasan berekspresi di ruang digital Indonesia masih terancam.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Alviani merekomendasikan agar regulasi internet di Indonesia direvisi secara komprehensif untuk menyeimbangkan antara akses, proteksi, dan kebebasan digital. Ia mengusulkan pembentukan tim lintas sektor yang melibatkan masyarakat sipil dalam menyusun kebijakan tata kelola internet yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Tessa, di sisi lain, menekankan pentingnya transparansi dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan moderasi konten dan perlindungan data pribadi. Ia juga mengusulkan adanya kolaborasi lebih lanjut dengan platform digital untuk memastikan bahwa komunitas mereka mematuhi standar global mengenai hak asasi manusia.

Dalam sesi tanya jawab, sejumlah peserta menyoroti isu-isu spesifik terkait dengan pengurangan intervensi pemerintah yang berlebihan dalam ruang digital. Tessa Ardya menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam memastikan adanya pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, baik melalui advokasi atau laporan masyarakat terkait pelanggaran hak digital yang terjadi. Alviani Salsabila menambahkan bahwa pembentukan peraturan yang lebih transparan dan inklusi merupakan langkah penting untuk membatasi dominasi pemerintah dalam pengaturan ruang digital. 

Acara ini dihadiri oleh 52 peserta melalui zoom webinar dan 60 peserta melalui Youtube Live Streaming.