FKP dengan tuan rumah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis 30 Januari 2025 dengan pembicara Faizmal Sugiarto (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Muhammad Anif Afandi (Universitas Muhammadiyah Metro dan Universitas Padjadjaran) dengan penanggap Donni Fajar Anugrah (Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia) dan Moderator Wulan Wiyat Wuri (Arbeiter Samariter Bund for South and Southeast Asia).
Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi hambatan besar dalam akses layanan keuangan, dengan sekitar 74% dari mereka tidak memiliki rekening bank pada tahun 2020. Dari 22,5 juta penyandang disabilitas, mayoritas bekerja di sektor informal dengan pendapatan tidak stabil, dan hal ini menambah kerentanan ekonomi mereka. Muhammad Anif Afandi (Universitas Muhammadiyah Metro dan Universitas Padjadjaran) dan Faizmal Sugiarto (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) melakukan penelitian untuk mendalami permasalahan inklusi layanan keuangan bagi masyarakat difabel di Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif lewat wawancara semi-terstruktur untuk memahami pengalaman penyandang disabilitas dalam mengakses layanan keuangan di Yogyakarta. Teknik snowball sampling digunakan untuk memilih empat informan utama, terdiri dari dua penyandang disabilitas visual (tunanetra) dan dua penyandang disabilitas fisik, yang semuanya berusia di atas 18 tahun dan berdomisili di Yogyakarta, Sleman, serta Bantul. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan staf perbankan dan akademisi guna meningkatkan akurasi. Analisis data dilakukan dengan pendekatan tematik melalui identifikasi kata kunci, pengelompokan tema utama, dan pengkodean data. Selain itu, pendekatan naratif digunakan dengan mengutip langsung pernyataan informan untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat tiga tantangan utama yang menyebabkan rendahnya inklusi keuangan bagi penyandang disabilitas di Yogyakarta, salah satunya adalah mispersepsi antara pihak perbankan dan penyandang disabilitas. Stigma dan stereotip yang berkembang membuat banyak bank menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang kurang mampu mengelola keuangan atau menggunakan layanan perbankan secara mandiri. Hal ini berdampak pada terbatasnya layanan yang disediakan bagi mereka serta rendahnya tingkat kepercayaan diri penyandang disabilitas dalam mengakses layanan perbankan. Akibatnya, banyak dari mereka lebih memilih menggunakan lembaga keuangan informal seperti koperasi yang dianggap lebih fleksibel dan akomodatif.
Untuk mengatasi mispersepsi antara bank dan penyandang disabilitas, peneliti merekomendasikan beberapa strategi, di antaranya penyediaan layanan home visit bagi penyandang disabilitas yang mengalami kesulitan mengakses kantor cabang. Selain itu, peran koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) perlu dioptimalkan untuk memperluas akses ke layanan keuangan yang lebih fleksibel bagi penyandang disabilitas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga didorong untuk meningkatkan program edukasi keuangan bagi penyandang disabilitas, khususnya di sekolah luar biasa (SLB) dan komunitas disabilitas, guna meningkatkan pemahaman mereka mengenai layanan perbankan.
Menanggapi penelitian tersebut, Donni Fajar Anugerah (Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia) menekankan pentingnya melakukan pendalaman tentang layanan yang tersedia di bagi warga dengan disabilitas, karena mungkin di Yogyakarta ada yang menyediakan layanan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memiliki dokumen panduan tentang layanan bagi warga difabel, namun bagaimana pelaksanaannya? Di lain pihak bila panduan tersebut tidak dilaksanakan, apa alasan pihak penyedia jasa keuangan? Selain itu, dapat dipertimbangkan untuk melakukan pembandingan (benchmarking) dengan provinsi lain atau negara yang lebih maju dalam inklusi keuangan untuk memastikan efektivitas intervensi yang diusulkan lewat studi ini.
Donni juga menyoroti bahwa tantangan utama bukan hanya stigma perbankan terhadap penyandang disabilitas, tetapi juga kurangnya pemahaman bank tentang kebutuhan spesifik kelompok ini. Sebelum mengadopsi layanan home visit, perlu dikaji kelayakan finansial dan operasionalnya bagi bank. Ia juga menyoroti bahwa monitoring dan evaluasi kebijakan inklusif masih menjadi kendala utama, meskipun regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan sudah ada.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta Valentina Sri Wijayanti menyoroti perlunya perubahan terminologi dalam penelitian ini, mengusulkan penggunaan istilah “difabel“ daripada “penyandang disabilitas” untuk mencerminkan perspektif yang lebih inklusif dan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, ia menekankan bahwa tantangan utama bukan pada keterbatasan individu, melainkan pada hambatan sistemik yang masih menghalangi akses layanan keuangan bagi kelompok ini. Para pemateri menanggapi bahwa terminologi yang digunakan dalam penelitian masih merujuk pada istilah yang diakui dalam regulasi nasional, tetapi mereka terbuka terhadap diskusi lebih lanjut mengenai penggunaan istilah yang lebih progresif. Selain itu, mereka sepakat bahwa inklusi keuangan bukan hanya tentang memberikan akses rekening bank, tetapi juga menghilangkan hambatan struktural dan sosial yang menghambat partisipasi difabel dalam sistem keuangan formal.
Leave A Comment