FKP dengan tuan rumah Badan Pusat Statistik (BPS) Selasa, 11 Februari 2025 dengan pemateri Bayu Dwi Kurniawan (Badan Pusat Statistik) dan Ema Tusanti (Badan Pusat Statistik) dengan Moderator Tally Purwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali).

Bayu Dwi Kurniawan (Badan Pusat Statistik) dalam presentasinya memaparkan tentang modernisasi pertanian dan tantangan dalam kelembagaan pertanian, dengan merujuk pada hasil Sensus Pertanian 2023 (ST2023). Beliau mengungkapkan bahwa meskipun modernisasi pertanian bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pertanian, implementasinya di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala struktural. Tantangan utama yang diidentifikasi salah satunya adalah rendahnya tingkat adopsi teknologi modern. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 44% Unit Usaha Pertanian (UTP) yang telah mengadopsi teknologi modern, dengan dominasi di Jawa Timur (20%), sementara wilayah lain seperti Maluku dan Papua tertinggal jauh. Selain itu, fenomena “aging farmers” juga menjadi tantangan serius, di mana mayoritas pengelola pertanian berada di usia tua, sementara generasi muda masih enggan untuk terjun ke sektor ini akibat minimnya insentif, akses modal, dan daya tarik pertanian sebagai profesi yang menjanjikan.

Selain itu, kelembagaan pertanian yang seharusnya menjadi motor penggerak modernisasi masih belum berfungsi secara optimal. Kelompok tani dan koperasi, yang seharusnya meningkatkan akses petani terhadap teknologi, pasar, dan pendanaan, belum berjalan efektif, dengan hanya sekitar 27% petani yang tergabung mendapatkan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan kurang dari 1% yang memiliki perlindungan asuransi pertanian. Bayu mengkritisi bahwa meskipun Permentan No. 67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani telah ada, implementasinya masih lemah dalam meningkatkan kapasitas petani dalam adopsi teknologi dan manajemen usaha. Oleh karena itu, beliau merekomendasikan revitalisasi kelembagaan pertanian, peningkatan insentif untuk regenerasi petani muda, serta penerapan regulasi yang lebih ketat terhadap alih fungsi lahan guna memastikan keberlanjutan sektor pertanian nasional. Tanpa kebijakan yang berbasis data (evidence-based policy) yang lebih progresif, akan sulit terjadi modernisasi pertanian di Indonesia secara merata dan hal ini akan berisiko meningkatkan ketimpangan agraria dan melemahkan daya saing sektor pertanian dalam persaingan global.

Dalam presentasi kedua Ema Tusianti (Badan Pusat Statistik) memaparkan potensi usaha tanaman pangan dalam mencapai kembali swasembada pangan, dengan fokus pada tanaman palawija (ubi kayu, ubi jalar, dan porang) sebagai alternatif strategis dalam diversifikasi pangan nasional. Beliau menjelaskan bahwa kontribusi subsektor tanaman pangan terhadap PDB pertanian mengalami tren penurunan dalam satu dekade terakhir, yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) tanaman pangan, gangguan produksi akibat perubahan iklim dan hama, serta ketergantungan tinggi terhadap impor bahan pangan. Data yang dipaparkan menunjukkan bahwa produksi beras, jagung, dan kedelai masih belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, sementara gandum sepenuhnya diimpor. Sebaliknya, ubi kayu dan ubi jalar telah mencukupi kebutuhan domestik, dengan 98% produksinya digunakan sebagai bahan pangan. Hal ini menjadikan palawija sebagai komoditas potensial dalam strategi substitusi pangan pokok. 

Peraturan Presiden (Perpres) No. 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal merupakan basis pemerintah untuk meningkatkan produksi palawija namun meskipun ubi kayu, ubi jalar, dan porang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai komoditas unggulan, masih terdapat hambatan dalam akses pembiayaan, ketersediaan varietas unggul, penerapan teknologi modern, serta infrastruktur pengolahan yang belum optimal. Ema mengkritisi minimnya investasi dalam agroindustri palawija yang menyebabkan nilai tambah dari komoditas ini masih rendah, padahal ada peluang besar untuk ekspor jika dilakukan penguatan di sektor hilir. Oleh karena itu, beliau merekomendasikan pembangunan pabrik pengolahan, peningkatan akses petani terhadap KUR dan bantuan teknologi, serta penyusunan peta sentra produksi yang lebih terintegrasi dengan rantai pasok. Jika tidak ada langkah strategis dan dukungan kebijakan yang kuat, maka upaya menuju kemandirian pangan dan pengurangan ketergantungan impor akan sulit tercapai dalam jangka panjang.

Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta mempertanyakan bagaimana strategi yang paling efektif untuk menarik minat generasi muda ke sektor pertanian di tengah persaingan dengan sektor industri dan jasa yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Menjawab pertanyaan ini, Bayu Dwi Kurniawan menekankan bahwa pendekatan berbasis teknologi dan kewirausahaan agribisnis perlu diperkuat untuk menarik minat generasi muda. Pemerintah harus berfokus pada program pelatihan berbasis digital, skema insentif yang kompetitif, serta integrasi pertanian dengan sektor teknologi dan startup agritech. Selain itu, ia menekankan bahwa modernisasi pertanian harus dikaitkan dengan pembentukan ekosistem yang mendukung inovasi pertanian berbasis anak muda, termasuk akses modal ventura bagi petani muda dan platform digital yang menghubungkan mereka dengan pasar serta pendampingan usaha.

Potensi Pertanian Indonesia: Peta Baru Pertanian Berkelanjutan

Nomor Katalog : 5106054

Nomor Publikasi : 07300.24018

ISSN/ISBN : 978-602-438-529-3

Tanggal Rilis : 30 September 2024

Bahasa : Indonesia

 

Download slides (Bayu Dwi Kurniawan)
Download slides (Ema Tusanti)