FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Kamis 20 Desember 2024 dengan pembicara Alviani Salsabila (PSHK), Bulgivia Maharani (PSHK), Violla Reininda (PSHK), Irfan (BAPPENAS), Feri Amsari (Universitas Andalas) 

Proses pembentukan peraturan-undangan yang meminimalkan partisipasi masyarakat merupakan awal dari penciptaan demokrasi. Apabila dalam prosesnya saja tidak ada keterlibatan yang berarti dari masyarakat, maka tidak ada jaminan bahwa isi dari produk hukum akan mencerminkan kebutuhan masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Tim peneliti PSHK melakukan kajian tentang proses pembentukan peraturan-undangan sepanjang periode 2020-2024, yang dipaparkan dalam seminar ini.

Dari target ambisius 248 RUU Prolegnas 2020-2024, hanya 18% yang tercapai, dan bahkan di antaranya hanya sebagian kecil yang berkualitas dan sesuai dengan prinsip legislasi yang baik. Fenomena keterlambatan penetapan Prolegnas tahunan, perubahan jumlah RUU tanpa urgensi yang jelas, serta minimnya keterlibatan efektif DPD menampilkan lemahnya koordinasi antar lembaga negara dalam menyusun peraturan yang relevan dan substansial. Lebih jauh lagi, Alviani Salsabila (PSHK) menjelaskan bahwa kajian PSHK menunjukkan bahwa ada ketidaksinkronan antara prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Ke depan, perlunya perencanaan yang lebih terpadu, namun sepertinya harapan ini tidak akan terpenuhi. Misalnya, fokus legislasi 2025 akan beralih ke bidang politik, hukum, dan keamanan, namun hal ini memiliki potensi ketidaksesuaian dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Aspek lain dari kajian PSHK dijelaskan oleh Violla Reininda (PSHK) yaitu tentang kecenderungan perluasan kekuasaan melalui mekanisme legalisme otokratik dan penyempitan ruang partisipasi publik. Sebanyak sembilan undang-undang, termasuk UU Cipta Kerja, UU IKN, dan UU ITE, dinilai memperluas hegemoni elit politik dengan cara yang konstitusional namun tanpa mengutamakan kepentingan publik. Proses legislasi seringkali bersifat sentralistik, kilat, dan minim partisipasi, dengan DPR hanya berperan sebagai batang kebijakan pemerintah. Violla juga menyoroti pasal multitafsir dalam beberapa undang-undang yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat sipil dan mencakup institusi demokrasi seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi. Praktik-praktik ini diulangi berulang kali pada periode mendatang, yang pada akhirnya akan membatasi ruang demokrasi.

Bulgivia Maharani (PSHK) membahas dimensi terakhir yg didalami oleh kajian PSHK yaitu dampak legislasi terhadap penyempitan ruang sipil ( civic space ). Kajian PSHK menunjukkan bahwa proses pembentukan undang-undang seperti UU IKN dan UU Minerba berlangsung cepat, tidak partisipatif, dan tidak transparan. Beberapa undang-undang, seperti UU ITE dan KUHP, memuat pasal multitafsir yang sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Kebijakan lingkungan, pengelolaan tanah adat, dan pembangunan IKN juga menggusur masyarakat lokal tanpa proses konsultasi yang memadai. Bulgivia menekankan perlunya perbaikan tata kelola legislasi, dengan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas, membatasi jumlah prioritas RUU, dan menyusun Prolegnas yang terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional.

Ada dua orang yang diundang untuk memberikan tanggapan terhadap kajian PSHK ini, yaitu Irfan ( BAPPENAS ) dan Feri Amsari ( Universitas Andalas ) . Dalam tanggapannya, Irfan menekankan pentingnya reformasi teknokratis dalam pengelolaan regulasi. Ia mencatat, baru 19% RUU dalam RPJMN yang selesai, sementara pencapaian RPP dan Perpres masing-masing hanya mencapai 43% dan 27%. Hal ini menghambat tercapainya target pembangunan nasional. Untuk mengatasi fragmentasi kewenangan legislasi, Irfan mengusulkan antara lain pembentukan Pusat Legislasi Nasional (PLN) sebagai lembaga tunggal yang akan mengarahkan proses legislasi, mengatasi ego sektoral, dan memanfaatkan teknologi seperti AI untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Ia juga menekankan pentingnya perencanaan berbasis data dan evaluasi dampak regulasi untuk memastikan regulasi lebih relevan dan efektif.

Pembahas kedua, Feri Amsari, menyoroti dominasi partai politik yang menghambat inisiatif individu anggota DPR untuk mengusulkan rancangan undang-undang, sehingga legislasi sering kali mencerminkan kepentingan elite politik daripada kebutuhan publik. Feri mengusulkan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai penyeimbang parlemen, sekaligus membuka ruang bagi sipil masyarakat untuk mengajukan RUU sesuai prinsip kedaulatan rakyat. Ia juga mengkritik minimnya penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA) pada legislasi yang kontroversial seperti UU IKN, yang tidak mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan secara komprehensif. Feri menegaskan bahwa reformasi partai politik , penguatan institusi demokrasi, dan keterlibatan masyarakat yang lebih substantif adalah langkah penting untuk menciptakan sistem legislasi yang inklusif dan transparan.

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta mengangkat isu risiko “isomorphic mimikri” , yaitu pembentukan lembaga-lembaga baru seperti Pusat legislasi Nasional yang hanya tampak berfungsi secara formal namun tidak efektif. Ia menyoroti bagaimana pemerintah dapat memastikan tata kelola yang efektif, mengintegrasikan pendekatan berbasis data, dan menerapkan evaluasi dampak regulasi ( ex ante dan ex post ). Menanganggapi hal ini, Irfan menjelaskan bahwa meskipun Pusat Legislasi Nasional terkandung untuk mewujudkan fragmentasi kewenangan, implementasinya seringkali terhambat oleh ego sektoral dan kurangnya dukungan politik. Ia menekankan perlunya reformasi tata kelola dan paradigma baru dalam regulasi pengelolaan. Sementara itu, Feri menambahkan bahwa partisipasi publik yang inklusif menjadi elemen penting untuk menjamin relevansi kebijakan. Menurutnya, transparansi dan keterlibatan masyarakat dapat meningkatkan legitimasi serta efektivitas undang-undang, sehingga mampu memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

 Acara ini mendapat liputan media antara lain sebagai berikut::

Download slides