FKP dengan tuan rumah Universitas Nusa Cendana dengan pembicara Umbu Reku Raya (Universitas Nusa Cendana dan CREDOS Institute) dan Christina Olly Lada (Universitas Nusa Cendana dan CREDOS Institute). Kamis, 7 Januari 2021.
KEY POINTS:
- Kekurangan gizi sudah lama menjadi masalah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu solusi masalah tersebut adalah implementasi Pos Gizi sebagai praktik pemberian makanan tambahan (PMT) berbasis komunitas. Prinsip Pos Gizi adalah merehabilitasi/terapi anak gizi kurang dengan menggunakan praktik pola asupan dari keluarga lain yang sama-sama miskin namun anak-anaknya bergizi baik atau normal.
- Kajian dari efektivitas Pos Gizi di Sumba menunjukkan bahwa dampak Pos Gizi terhadap berat badan anak masih belum stabil. Ada beberapa permasalahan termasuk asumsi bahwa masyarakat mampu menyediakan bahan makanan bergizi tetapi tidak memiliki cukup pengetahuan dan praktik asupan yang memadai. Padahal kondisi masyarakat sangat miskin sehingga sulit untuk dapat menyediakan makanan secara mandiri, dan memenuhi kebutuhan gizi anak.
SUMMARY
- Kekurangan gizi sudah lama menjadi masalah di NTT. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, empat dari 10 balita di NTT mengalami stunting yang merupakan masalah gizi kronis. Dalam jangka menengah, stunting akan mengganggu kemampuan kognitif, prestasi belajar, dan obesitas di masa sekolah. Dalam jangka panjang, di masa dewasa prestasi kerja kurang dan risiko terhadap penyakit tidak menular tinggi. Masalah gizi ini juga diperkirakan memberikan beban ekonomi dengan mengkonsumsi 3% dari pendapatan daerah provinsi NTT.
- Salah satu solusi untuk masalah gizi anak adalah penanganan melalui Posyandu. Posyandu diusulkan oleh inisiatif kelompok masyarakat sendiri melalui desa dan kelurahan. Dalam Posyandu juga terdapat pelayanan gizi melalui pemantauan berat badan-tinggi badan, edukasi gizi, vitamin A, dan pemberian makanan tambahan (PMT).
- PMT didapatkan dari berbagai sumber: upaya mandiri Posyandu, pemerintah pusat maupun daerah, dan agensi eksternal. Kementerian Kesehatan sendiri memiliki Program PMT, namun pelaksanaannya di NTT belum optimal. Dari 60% anak yang mengikuti program PMT di NTT, 94% hanya mendapat kurang dari 30 bungkus (untuk 1 bulan) dan 25% tidak menghabiskan PMT tersebut karena anak tidak mau atau malah dimakan oleh anggota rumah tangga yang lain. PMT ternyata tidak sesuai kebutuhan sebab sebagian besar penerima program PMT adalah sekadar peserta Posyandu, bukan mereka yang benar-benar membutuhkan (karena gizi buruk, gizi kurang, dsb).
- Solusi lain untuk PMT adalah implementasi Pos Gizi sebagai praktik PMT berbasis komunitas. Prinsip dari konsep Pos Gizi adalah merehabilitasi/terapi anak gizi kurang dengan menggunakan praktik pola asupan dari keluarga lain yang walaupun sama-sama miskin namun anak-anaknya bergizi baik atau normal.
- Tahapan kerja dalam Pos Gizi yang pertama adalah menentukan kelayakan untuk berdirinya (ketersediaan pangan, kedekatan geografis, ketersediaan program kesehatan, dll). Kemudian dilakukan pencarian perilaku positif dari ibu dengan status ekonomi miskin namun memiliki anak dengan gizi baik atau normal. Selanjutnya, ada sesi pembelajaran dengan praktik langsung bersama-sama selama 10 hari. Hal ini diikuti dengan tindak lanjut berupa kunjungan ke rumah atau konseling dan monitoring secara berjangka.
- Keuntungan dari Pos Gizi adalah kegiatan yang dilakukan bentuknya sederhana sehingga bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, dan terintegrasi dengan kegiatan Posyandu. Kegiatan juga intensif dan cepat dan monitoring dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. PMT Pos Gizi dilakukan dengan basis komunitas dan memanfaatkan pangan lokal. Ibu dapat berbagi pengalaman dengan ibu lain dan berdiskusi bagaimana meningkatkan gizi pada menu pangan lokal.
- Bagaimana efektivitas dari program Pos Gizi tersebut? Kajian dari efektivitas Pos Gizi di salah satu kecamatan di Pulau Sumba pada bulan Maret-Mei 2019 menunjukkan bahwa dampak Pos Gizi terhadap berat badan anak masih belum stabil. Dampak terlihat di h+10 namun menurun di h+30 dan h+90. Mengapa efektivitasnya terbatas?
- Pertama, masalahnya adalah Pos Gizi mengasumsikan bahwa masyarakat mampu menyediakan bahan makanan bergizi tetapi tidak memiliki cukup pengetahuan dan praktik asupan yang memadai. Ini dapat menjadi bumerang dalam pelaksanaan program, sebab masyarakat yang miskin akan sulit untuk dapat menyediakan makanan secara mandiri, dan memenuhi kebutuhan gizi anak. Dari hasil kajian, tidak ada perubahan besar pada pola makan anak. Kedua, faktor kemiskinan menjadi masalah, di mana orang tua lebih memilih untuk bekerja agar memperoleh pendapatan, dibandingkan mengurus anak. Selain itu, produktivitas pertanian rendah karena modal yang dimiliki rendah. Banyak modal masyarakat yang habis untuk urusan adat, terutama untuk upacara pemakaman berbiaya tinggi yang merupakan tradisi penting masyarakat setempat.
- Kajian ini menunjukkan frekuensi makan dan variasi diet masyarakat masih kurang. Masyarakat kurang mampu menyediakan sendiri makanan bergizi karena faktor kemiskinan, dan hal ini bertentangan dengan asumsi Pos Gizi. Pola asuh juga sulit karena ibu harus mengurus anak sambil berkebun/menenun sedangkan bapak bekerja di luar daerah. Selain itu ada juga ada faktor banyaknya anak yang tinggal di lingkungan dengan risiko penyakit infeksi dan menular seperti TBC, diare, ISPA, dll.
- Keberhasilan Pos Gizi dengan PMT mandiri oleh masyarakat masih belum optimal. Untuk efektivitas yang lebih baik, akar masalah perlu diatasi. Pos Gizi masih perlu diperkuat dengan tambahan makanan bergizi yang bersumber dari luar karena masyarakat belum mampu menyediakan secara mandiri. Akar masalah dari pesta yang berlebih dan tidak adanya perilaku menabung perlu diatasi. Dengan pengurangan pesta adat yang berlebihan, diharapkan modal dapat bertambah dan produktivitas pertanian dapat meningkat dan menyediakan kebutuhan pangan rumah tangga, yang pada akhirnya dapat mengurangi kasus gizi buruk di NTT.
- Ada beberapa inovasi dalam mengatasi permasalahan gizi buruk yang muncul dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu di antaranya adalah alokasi Dana Desa dalam penyediaan makanan bergizi. Namun demikian, konsistensi pelaksanaannya masih memerlukan evaluasi mengingat tidak semua Kepala Desa paham permasalahan gizi.