FKP hosted by INOVASI with Rasita Ekawati Purba (INOVASI), Lily Suryani (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB), Tolhas Damanik (Yayasan Wahana Inklusif Indonesia), Budhis Utami (Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan), Sakdiyah (Kementerian Agama RI), Meike Anastasia (Kemdikbud RI). Rabu, 27 September 2023.
KEY POINTS:
- Learning loss selama pandemi mengakibatkan hampir 50% dari siswa kelas tiga yang disurvei INOVASI tidak mampu mencapai kemampuan literasi dan numerasi minimal. Kelompok rentan, termasuk anak laki-laki, siswa di pedesaan, mereka yang memiliki disabilitas, dan yang berbicara dalam bahasa daerah, adalah yang paling terdampak.
- Upaya sedang dilakukan untuk mengatasi disparitas pendidikan, terutama bagi siswa penyandang disabilitas. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), pendidikan inklusif menjadi prioritas, dan sistem data telah dikembangkan untuk mengidentifikasi dan memberikan layanan kepada siswa penyandang disabilitas. Namun, tantangan masih ada, termasuk kurangnya pemahaman tentang pendidikan inklusif di tingkat pemerintah daerah. Inisiatif nasional sedang dilaksanakan untuk mempromosikan pendidikan inklusif yang sesuai kebutuhan siswa dan berkonteks kewilayahan.
SUMMARY
- Berbagai studi menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19 siswa Indonesia mengalami learning loss, di mana mereka kehilangan kesempatan belajar dan bahkan kehilangan pengetahuan yang telah mereka pelajari sebelumnya. Kesenjangan pembelajaran pun semakin melebar di kalangan kelompok rentan, terutama siswa penyandang disabilitas dan mereka yang bersekolah di wilayah terpencil. INOVASI melakukan survei di 20 kabupaten di Indonesia untuk mengetahui kondisi hasil belajar dan pembelajaran siswa di masa pandemi. Rasita Purba (Program INOVASI) menjelaskan beberapa temuan dari studi tersebut, antara lain:
- hampir 50% dari siswa kelas 3 SD belum menguasai kemampuan minimal literasi. Siswa dikatakan dapat mencapai kemampuan minimal literasi berdasarkan global proficiency framework SDG jika mencapai level 3. Pada level tersebut siswa dapat membaca teks sederhana secara mandiri, mampu menemukan informasi yang dinyatakan secara eksplisit dan memberikan kesimpulan sederhana dari ide kunci teks.
- Dua dari tiga siswa kelas 3 SD belum mampu memenuhi kemampuan minimal numerasi. Kemampuan minimal numerasi ini dipenuhi apabila mencapai level 4 (melakukan penjumlahan dan pengurangan hingga 1000, perkalian dan pembagian dua digit, menggunakan konsep operasi matematika dalam dunia nyata, dst).
- Siswa laki-laki, siswa di pedesaan, siswa dengan disabilitas, dan siswa berbahasa daerah cenderung lebih rentan dibandingkan siswa lainnya.
- Faktor kerentanan tersebut juga ditemukan saling berkaitan. Siswa dengan multi-kerentanan berpotensi memiliki hasil belajar lebih rendah.
- Meskipun perempuan memiliki hasil belajar yang lebih baik dibandingkan laki-laki, namun mereka cenderung mengalami learning loss lebih tinggi selama pandemi COVID-19. Hal ini dapat dikarenakan anak perempuan memiliki beban pekerjaan domestik yang lebih berat dibandingkan laki-laki.
- Lily Suryani dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), memaparkan bahwa pendidikan inklusif menjadi prioritas di NTB karena menurut analisis tahun 2020, siswa disabilitas merupakan salah satu kelompok anak yang mengalami kesulitan belajar terberat. Data tentang jumlah dan sebaran siswa disabilitas di NTB diakui belum memadai sehingga belum tersedia layanan khusus untuk siswa-siswa tersebut. Merespon masalah ini, Dikbud Provinsi NTB mengembangkan sistem pendataan dan layanan informasi data peserta didik disabilitas secara online dan terpadu. Guru-guru di setiap kabupaten di NTB dapat menggunakan instrumen identifikasi kesulitan belajar pada dashboard yang disediakan Dikbud, dan data tersebut kemudian dikelola oleh pemerintah provinsi untuk evaluasi dan penyusunan peta jalan pendidikan inklusif untuk 2023-2027.
- Menanggapi hasil studi yang dilakukan Program INOVASI serta upaya yang telah dilakukan di NTB, Meike Anastasia dari Kemdikbud RI menyebutkan bahwa masih banyak pejabat pemerintah kabupaten kota yang belum sepenuhnya mengerti tentang pendidikan inklusif, dan mengira pendidikan inklusif adalah kewenangan pemerintah provinsi. Hal ini berakibat kerap kali ada satuan pendidikan yang tidak menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) di daerah. Kemdikbud mencoba mencari solusi melalui kelompok kerja lintas direktorat, sehingga ABK sudah menjadi fokus bagi berbagai direktorat di Kemdikbud.
- Tolhas Damanik dari Yayasan Wahana Inklusif Indonesia menambahkan bahwa kemungkinan learning loss sudah dialami oleh ABK bahkan sebelum pandemi, sebab dukungan penyelenggaraan pendidikan inklusif selama ini banyak mengalami pasang surut. Dengan minimnya akomodasi dan dukungan, kelompok ini menjadi kelompok marjinal yang paling rentan. Tolhas menyarankan agar dibuat standar tersendiri untuk kompetensi peserta didik penyandang disabilitas. Dengan standar tersebut, keberagaman peserta didik penyandang disabilitas bisa diakomodasi dengan lebih spesifik.
- Budhis Utami dari Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan menambahkan bahwa perlu ada penyediaan fasilitas pembelajaran yang sesuai kebutuhan siswa dan berkonteks kewilayahan. Perlu dilakukan pendalaman dan penajaman terkait interseksionalitas dengan situasi kemiskinan, konteks lokal dan kesukuan, dan konteks gender.
- Sakdiyah dari Kementerian Agama RI menjelaskan roadmap pendidikan inklusif untuk madrasah. Ada 12 komponen dalam roadmap ini antara lain mengenai regulasi, kelembagaan, kurikulum, penilaian kompetensi, dst. Pada tahap awal, roadmap ini fokus pada pengembangan madrasah tertentu untuk menjadi model pengembangan untuk piloting. Capaian sejauh ini untuk pendidikan dasar inklusif di Kementerian Agama adalah menetapkan Forum Pendidik Madrasah Inklusif Pusat, menerbitkan SK untuk petunjuk teknis madrasah inklusif, bantuan operasional madrasah inklusif, dan penyusunan awal roadmap untuk pendidikan dasar inklusif.