FKP dengan Tuan Rumah LPEM FEB UI dengan pemateri Diahhadi Setyonaluri (LPEM FEB Universitas Indonesia) dan Ella Prihatini (Universitas Muhammadiyah Jakarta dan The University of Western Australia) dan pembahas Profesor Ani W. Soetjipto (FISIP Universitas Indonesia). Selasa, 15 Oktober 2024.
Perempuan masih kurang terwakili dalam politik Indonesia, meskipun kebijakan kuota 30% perempuan di legislatif telah diterapkan pada awal masa Reformasi. Saat ini, kurang dari seperempat anggota parlemen adalah perempuan. Meskipun jumlah pemilih perempuan sedikit lebih tinggi pada Pemilu 2019 dan 2024, hal ini belum mencerminkan kemajuan nyata dalam kesetaraan gender karena keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen sering kali lebih rendah dibandingkan laki-laki. Diah Hadi Setyonaluri (LPEM FEB UI) dan Ella Prihatini (Universitas Muhammadiyah Jakarta) melakukan penelitian yang menyoroti bagaimana norma gender, insentif finansial, dan hambatan struktural mempengaruhi keterlibatan politik perempuan.
Dari sisi kuantitatif, Diah Hadi Setyonaluri memaparkan hasil survei terhadap 1.059 perempuan di empat kota di Indonesia yaitu Medan, Jakarta Raya, Surabaya, Makassar yang berumur 19-64 tahun. Secara luas, ada 3 hal yang ditanyakan pada responden terkait dengan norma gender, yaitu pandangannya terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam 1) mencari nafkah, 2) memberikan perawatan dalam keluarga, dan 3) kegiatan politik. Hasil dalam survei tersebut digunakan untuk membagi responden berdasarkan tiga kategori: mereka yang cenderung egalitarian, yang moderat, dan yang patriarkis. Selanjutnya, peneliti melakukan kajian bagaimana partisipasi politik dari perempuan dengan sifat egalitarian, moderat dan patriarkis tersebut. Salah satu temuan yang menarik dan mungkin tidak diantisipasi adalah bahwa perempuan dengan norma paling konservatif tentang kewajiban mencari nafkah ternyata paling aktif dalam kegiatan politik
Selanjutnya, Ella Prihatini memaparkan hasil dari wawancara mendalam dengan 22 politisi perempuan di Indonesia untuk menggali pengalaman mereka ketika mencalonkan diri untuk jabatan politik dan berpartisipasi dalam kampanye calon presiden. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi strategi-strategi yang efektif bagi perempuan untuk terlibat lebih aktif dalam kegiatan politik. Ada cukup banyak hal yang ditemui dari wawancara tersebut tentang motivasi dan hambatan yang dihadapi perempuan yang menjadi responden. Salah satunya adalah bagaimana ketersediaan dana merupakan hal yang paling penting sehingga memungkinkan perempuan bisa mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu. Selain itu, ada banyak diskriminasi yang dihadapi perempuan dalam proses pencalonan, baik itu dari partai maupun dari para pemilih sendiri.
Profesor Ani W. Soetjipto (FISIP UI) menyoroti pentingnya untuk membongkar norma sosial yang membakukan peran gender, guna mendorong kesetaraan di ranah publik dan privat. Beliau juga menyoroti bahwa perempuan yang aktif dalam politik cenderung berasal dari latar belakang yang homogen, terutama yang memiliki keturunan politis atau kekayaan. Profesor Ani berpendapat bahwa perlu adanya pembongkaran relasi kuasa agar semua perempuan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, memiliki peluang yang setara untuk berpartisipasi dan dipilih dalam kegiatan politik.
Dalam sesi diskusi, temuan penelitian divalidasi oleh Sucianti Suaeb, peserta diskusi yang pernah menjadi Calon Anggota Legislatif pada pemilu 2019 dan 2024. Beliau mencatat bahwa sebagian besar partisipasi perempuan dalam politik didorong oleh faktor keturunan dari keluarga politisi dan popularitas, dengan banyak artis juga ikut serta dalam pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang keluarga dan ketenaran memainkan peran besar dalam keterlibatan politik perempuan.
Untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini mencakup penguatan dukungan institusional bagi calon perempuan, baik secara finansial maupun dengan memberikan posisi strategis dalam daftar pemilihan. Kampanye publik juga perlu ditingkatkan untuk menantang norma gender konservatif, dan mengurangi politik uang dengan fokus pada program berbasis kebijakan yang substansial. Pendidikan politik bagi perempuan harus diperkuat untuk membekali mereka dengan keterampilan dan kepercayaan diri, serta kampanye mengenai kesetaraan tugas rumah tangga untuk mengurangi beban domestik yang tidak seimbang.
Acara ini dihadiri sekitar 35 peserta secara luring di Gedung MM FEB UI Jakarta, dan lebih dari 100 peserta di Zoom dan YouTube. Di akhir acara, beberapa peserta beruntung mendapatkan buku tentang gender di Indonesia yang turut ditulis oleh Diahhadi Setyonaluri dan Ella Prihatini.
Baca selengkapnya final report Diahhadi Setyonaluri dan Ella Prihantini mengenai keterlibatan politik perempuan serta pengaruh norma gender dalam proses politik di Indonesia melalui tautan berikut: https://www.alignplatform.org/resources/report-indonesia-womens-political-engagement-and-gender-norms
Untuk informasi lebih lanjut, simak juga liputan media masa atas acara ini:
- Kompas: Tingkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Parpol Harus Dibenahi
- Antara News: Tingkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, parpol harus dibenahi
- Antara News: Akademisi: Revisi UU Pemilu dan UU Parpol penting
- Antara News: Akademisi: Keterwakilan perempuan di politik masih jauh dari ideal
- Kendari Kini: Sucianti Suaib Saenong Diundang di UI, Bicara Soal Peran Perempuan di Politik
Leave A Comment