FKP dengan tuan rumah Badan Pusat Statistik, Rabu 4 Desember 2024 dengan pembicara Luh Gde Meydhianawati dan I Gusti Agung Ayu Apsari Anandari (FEB Universitas Udayana), Nuri Taufik, I Made Giri Suyasa, dan Lili Retnosari (Direktorat Statistik Ketahanan Sosial BPS RI), I Gede Heprin Prayasta dan Ni Gusti Putu Ayu Sri Lestari (BPS Provinsi Bali)
Seminar ini merupakan kerjasama antara BPS dan FEB Universitas Udayana dengan memaparkan tiga kajian. Kajian pertama adalah tentang peluang lulusan baru untuk memasuki middle class job di Bali pada masa pandemi COVID-19. Luh Gde Meydhianawati dan I Gusti Agung Ayu Apsari Anandari (FEB Universitas Udayana) menggunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019 dan 2021, yaitu masa saat pandemi COVID-19 masih di puncaknya, untuk menganalisa peluang lulusan baru untuk mendapatkan pekerjaan yang menawarkan pendapatan, manfaat, dan keamanan sesuai ekspektasi kelas menengah. Hasil analisa menemukan bahwa lulusan baru memiliki peluang 5%-9% lebih rendah dibandingkan tenaga kerja yang bukan lulusan baru Pada tahun 2022, peluang ini meningkat signifikan seiring pulihnya sektor formal seperti jasa dan transportasi, namun pada 2023 peluang tersebut bergerak stagnan akibat hambatan struktural, seperti ketidakcocokan keterampilan dengan kebutuhan pasar kerja.
Dalam presentasinya Luh Gde Meydhianawati menemukan keragaman peluang antara rural dan urban, dan antar industri. Lulusan baru di pedesaan memiliki peluang lebih besar dibandingkan di perkotaan karena batas pendapatan middle class yang lebih rendah di desa. Selain itu, sektor jasa menjadi penopang utama middle class job bagi lulusan baru, khususnya sub sektor akomodasi dan transportasi yang perlahan pulih setelah terpukul pandemi. Namun, ketergantungan pada sektor ini menghadirkan risiko, mengingat sektor jasa di Bali sangat rentan terhadap fluktuasi ekonomi global dan penurunan wisatawan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, Meydhianawati menekankan pentingnya kebijakan strategis yang berfokus pada peningkatan akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan konektivitas antar sektor. Upaya ini bertujuan untuk mempersiapkan generasi muda, khususnya lulusan baru, agar lebih kompetitif di pasar tenaga kerja dan mampu mengakses middle class job secara lebih luas.
Selain menghadapi tantangan di pasar tenaga kerja, kelas menengah Indonesia kini dihadapkan pada masalah stagnasi dan penurunan jumlah. Presentasi ke-2 oleh Nuri Taufik, I Made Giri Suyasa, dan Lili Retnosari (Direktorat Statistik Ketahanan Sosial BPS RI) menyoroti pentingnya inklusi keuangan sebagai alat untuk mendorong mobilitas ekonomi kelas menengah di Indonesia, yang saat ini menghadapi tantangan stagnasi dan penurunan jumlah. Populasi kelas menengah menurun sekitar 10 juta orang sejak 2019, atau setara dengan 16,35%. Nuri Taufiq menjelaskan bahwa meskipun tingkat inklusi keuangan terus meningkat, mencapai 88,7% pada 2023, kelas menengah tetap menghadapi hambatan untuk naik kelas. Hal ini disebabkan oleh kesenjangan antara inklusi dan literasi keuangan. Dalam analisis regresi model logistik multinomial menunjukan bahwa investasi sebagai bentuk inklusi keuangan memiliki pengaruh signifikan dengan odds ratio sebesar 4,14 yang menandakan bahwa rumah tangga kelas menengah yang berinvestasi memiliki peluang lebih besar untuk naik ke kelas atas.
Selain itu, pendidikan kepala rumah tangga juga menjadi faktor penting dalam meningkatkan mobilitas ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung perlu tidak hanya berfokus pada peningkatan akses keuangan, tetapi juga pada literasi keuangan. Edukasi keuangan harus menjadi prioritas agar kelas menengah dapat memanfaatkan akses keuangan secara optimal, mengelola investasi dengan baik, dan memitigasi risiko gejolak ekonomi. Dengan langkah ini, inklusi keuangan dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan kestabilan ekonomi, mendukung pertumbuhan kelas menengah, dan memperkuat perekonomian nasional secara berkelanjutan.
Selain tantangan mobilitas ekonomi, Indonesia juga menghadapi transisi demografi dengan jumlah penduduk lansia (60+) sebesar 9,34% telah melampaui jumlah anak usia 0-4 tahun sebesar 8,95% dari total populasi. Tren ini menunjukkan gap yang semakin melebar, dengan proyeksi lansia mencapai 15,77% pada 2035, sementara anak usia 0-4 tahun terus menurun menjadi 6,96%. I Gede Heprin Prayasta dan Ni Gusti Putu Ayu Sri Lestari (BPS Provinsi Bali) mengkaji potensi besar yang dimiliki penduduk lanjut usia melalui penelitian mereka tentang Indeks Ekonomi Perak. Heprin menjelaskan bahwa lansia, yang sering dianggap sebagai beban ekonomi, sebenarnya memiliki peran signifikan sebagai kontributor utama konsumsi di sektor kesehatan, pariwisata, dan jasa keuangan. Dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU)/Principal Component Analysis (PCA) mereka menyusun Indeks Ekonomi Silver yang mencakup indikator akses teknologi, kesejahteraan, asuransi pensiun, dan pendidikan tinggi. DKI Jakarta mencatat indeks tertinggi karena infrastrukturnya yang maju, sementara provinsi seperti Jawa Tengah dan Papua menunjukkan potensi yang belum tergarap sepenuhnya, terutama karena keterbatasan infrastruktur, akses teknologi, dan rendahnya pemanfaatan jaminan sosial.
Heprin dan Lestari mengusulkan empat rekomendasi kebijakan untuk mengoptimalkan potensi ekonomi silver, salah satunya adalah revolusi digital dalam layanan kesehatan. Teknologi digital seperti telemedicine, aplikasi berbasis smartphone, dan terapi berbasis kecerdasan buatan (AI) dinilai mampu meningkatkan kualitas hidup lansia sekaligus mengurangi tekanan pada sistem kesehatan nasional. Dengan memanfaatkan teknologi, lansia dapat mengakses layanan kesehatan yang lebih efisien, mendukung keberlanjutan ekonomi, dan berkontribusi pada pengembangan ekonomi digital di Indonesia. Pendekatan ini dapat mengubah tantangan populasi menua menjadi peluang pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam sesi Q&A, salah satu peserta diskusi, I Gusti Wayan Murjana Yasa (FEB Universitas Udayana) menyoroti pentingnya mempertimbangkan pendapatan di luar pekerjaan utama, seperti dari investasi atau pekerjaan sekunder, dalam analisis peluang lulusan baru memasuki pekerjaan kelas menengah. . Ia menjelaskan bahwa sumber pendapatan sekunder ini seringkali menjadi faktor kunci dalam melindungi kelas menengah dari gejolak ekonomi, terutama selama pandemi COVID-19, ketika banyak pekerja kehilangan pendapatan utama mereka. Menanggapi hal ini, Luh Gde Meydhianawati mengakui bahwa aspek pendapatan sekunder belum menjadi bagian dari model penelitian saat ini, tetapi telah menjadi bahan diskusi untuk riset lanjutan. Ia menyatakan bahwa data Sakernas mencakup informasi tentang pendapatan sekunder, yang dapat digunakan untuk mengontrol variabel ini, sehingga penelitian di masa depan dapat memberikan analisis yang lebih komprehensif mengenai stabilitas dan peluang kelas menengah di Indonesia.
Acara ini dihadiri oleh 173 peserta melalui zoom webinar dan 60 peserta melalui Youtube Live Streaming.
Leave A Comment