FKP dengan Tuan Rumah Universitas Pattimura. Kamis, 31 Oktober 2024 dengan pembicara Dr. Jufry Pattilow (Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pattimura/FEB UNPATTI) dan Dr. Yolanda Apituley (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan/FPIK UNPATTI) dengan moderator Dr Wardis Girsang (Fakultas Pertanian UNPATTI)

Provinsi Maluku menyimpan kekayaan alam yang melimpah, mencakup sektor perikanan, pariwisata bahari, serta minyak dan gas. Sektor perikanan di provinsi Ini berkontribusi 37% terhadap sektor perikanan nasional atau setara 4,7 juta ton/ tahun.  Namun, wilayah ini justru menghadapi tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Kekayaan sumber daya alam masih belum bisa secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil yang terkendala aksesibilitas dan minimnya infrastruktur. Dalam Forum Kajian Pembangunan dengan tuan rumah Universitas Pattimura dua akademisi dari  UNPATTI mempresentasikan penelitiannya tentang kemiskinan dan upaya pengentasan kemiskinan di Provinsi Maluku.  

 Pada presentasi pertama, Dr. Jufry Pattilow (FEB UNPATTI) menjelaskan Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan karakteristik geografis dan sosial-ekonomi yang berbeda dari wilayah kontinental. Meskipun kaya akan sumber daya alam, proporsi penduduk dengan kategori miskin di Maluku sebesar 16,23%, jauh  di atas angka kemiskinan nasional sebesar 9,57% pada 2022. Apa saja faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Maluku?  Untuk menjawab pertanyaan ini, Dr Juffry Pattilow membangun model yang menggunakan 10 variabel independen yang terdiri dari 3 variabel spasial dan 7 variabel sosial-ekonomi, dengan unit analisis yang meliputi 1.198 desa di Provinsi Maluku. Sumber data yang digunakan antara lain Potensi Desa (Podes) dan Indeks Desa Membangun (IDM), dengan analisis yang menggunakan metode regresi berganda dan mempertimbangkan tipologi wilayah serta variabel sosio-ekonomi.

Hasil penelitian Dr. Jufry menunjukkan bahwa daerah pesisir memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan daerah pedalaman, sedangkan pulau-pulau kecil dan terluar menunjukkan korelasi dengan kemiskinan: semakin kecil dan semakin jauh pulau tersebut dari pusat ekonomi, semakin tinggi tingkat kemiskinannya. Faktor-faktor sosio-ekonomi seperti akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan dan lainya juga berperan menentukan angka kemiskinan.

Dalam sesi diskusi, diungkapkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian baru mampu menjelaskan 52% faktor penyebab kemiskinan, menunjukkan masih adanya variabel lain yang tidak dapat dijelaskan oleh model. Karena unit analisis studi tersebut pada tingkat desa, maka variabel yang bisa digunakan terbatas, karena data yang ada tidak tersedia Selain itu, garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS perlu direvisi agar lebih akurat dan mencerminkan kondisi faktual di lapangan, sehingga dapat menggambarkan realitas sosial ekonomi masyarakat dengan lebih baik.  

Berdasarkan hasil penelitiannya, Dr. Jufry menekankan pentingnya kebijakan afirmatif yang mempertimbangkan konteks lokal di kepulauan Maluku. Ia mengajukan tiga rekomendasi utama kepada pembuat kebijakan. Salah satu rekomendasi tersebut adalah memperkuat dan memberdayakan ekonomi lokal dengan meningkatkan kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan sumber daya lokal. Program-program pemberdayaan ekonomi yang terfokus ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan dan pulau-pulau kecil.

Dalam sesi kedua, Dr. Yolanda Apituley membahas potensi pengembangan garam di Kabupaten Maluku Barat Daya sebagai alternatif pendapatan bagi masyarakat pesisir.   Wilayah ini didominasi lautan sebesar 88,1%, sementara daratannya, yang terdiri dari 48 pulau, hanya mencakup sekitar 11,9% dari luas kabupaten. Sebagai daerah terluar, Kabupaten Maluku Barat Daya menghadapi tantangan transportasi yang membatasi akses ke pasar yang lebih luas. Meskipun potensi lautnya besar, kendala jarak dan infrastruktur membuat masyarakat kesulitan memasarkan produk perikanan dan pertanian dalam kondisi segar. Salah satu alternatif adalah produksi garam tradisional menggunakan metode evaporasi dengan cangkang kerang kima (Tridacna derasa), yang menghasilkan sekitar 18-20 kilogram garam/dua minggu. Garam ini digunakan salah-satunya  untuk pengawetan ikan, yang kemudian dipasarkan melalui sistem barter di pulau sekitar atau dijual di Ambon dengan harga Rp70.000- Rp75.000. 

Merujuk pada Perpres No. 126 Tahun 2022, pemerintah telah menetapkan target untuk mengurangi ketergantungan impor garam yang mencapai 4,46 juta ton per tahun. Dr. Yolanda melihat peluang besar bagi Kabupaten Maluku Barat Daya dalam berkontribusi memenuhi kebutuhan nasional melalui modernisasi teknologi produksi garam. Namun saat ini penggunaan garam yang dihasilkan di Maluku Barat Daya masih terbatas digunakan untuk pengasinan ikan dikarenakan mutunya belum sesuai dengan standar. Dr Yolanda membuat 5 rekomendasi untuk memperbaiki produksi garam di Maluku Barat Daya, dan salah satunya adalah peningkatan kapasitas petani garam melalui pendidikan, penyuluhan dan pendampingan agar garam produksi petani sesuai dengan standar mutu yang dibutuhkan.

 Acara ini dihadiri oleh 32 Peserta melalui Zoom Webinar dan lebih dari 60 Peserta melalui Youtube Live Streaming.

Download slides (Djufry Pattilow)
Download slides (Yolanda Apituley)