Buruknya fasilitas sanitasi di sekolah membuat sebagian besar pelajar perempuan di Indonesia jarang mengganti pembalut ketika menstruasi.
Praktek ini berdampak pada meningkatnya risiko gangguan kesehatan pada sistem reproduksi hingga proses belajar mereka di sekolah dan sebagian membuat siswa memutuskan tidak melanjutkan sekolah.
Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang baru dilakukan mengenai praktek Managemen Kebersihan Menstruasi (MKM) di kalangan siswa di sekolah menengah oleh Lembaga penelitian SMERU Research Institute di sejumlah sekolah menengah di DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Peneliti utama dalam studi ini Rezanti Putri Permana mengatakan kepada wartawan ABC Iffah Nur Arifah bahwa praktek MKM mencakup pengelolaan kebersihan dan kesehatan pada saat perempuan mengalami menstruasi.
Diantaranya perempuan harus dapat menggunakan pembalut yang bersih dan menggantinya sesering mungkin selama periode menstruasi hingga memiliki akses fasilitas sanitasi yang baik.
Jika pakar kesehatan menyarankan perempuan yang sedang menstruasi untuk mengganti pembalut setidaknya setiap 4-6 jam sekali.
Namun ternyata dari riset ini diketahui mayoritas siswa perempuan mengaku jarang mengganti pembalut mereka ketika berada di sekolah
“Para pelajar itu berada di sekolah biasanya lebih dari 6 jam, dan selama itu ternyata siswa perempuan mayoritas mengaku tidak mengganti pembalut mereka dan kalaupun terpaksa mengganti pembalut di sekolah itu ada beberapa hal yang mereka lewatkan, seperti tidak mencuci tangan sebelum dan setelah mengganti pembalut mereka.” papar alumnus HELP University Kuala Lumpur, Malaysia itu.
Lebih lanjut Rezanti mengatakan dalam jangka panjang kebiasaan ini dapat memicu gangguan kesehatan terutama pada organ reproduksi, seperti infeksi saluran reproduksi, infeksi di organ kewanitaan mereka, infeksi saluran kemih bahkan kanker serviks atau kelahiran premature.
Hal itu dimungkinkan karena kondisi lembab ketika menstruasi rentan memicu berkembang biaknya kuman, bakteri dan jamur.
Dan pembalut yang tidak sering diganti menjadi wadah yang sangat baik untuk berkembang biaknya kuman, bakteri dan jamur tersebut.
Sementara keengganan siswa perempuan untuk mengganti pembalut di sekolah ini menurut Rezanti tak lain karena sarana sanitasi di sekolah yang tidak memadai.
“Mayoritas siswa perempuan mengaku tidak merasa aman dan nyaman untuk menggunakan toilet di sekolah mereka, Mulai dari toilet yang kotor hingga pintu toilet yang tidak ada kuncinya, itu membuat mereka akhirnya tidak atau jarang mengganti pembalut ketika haid atau menstruasi di sekolah.” tambahnya.
Kondisi ini dibenarkan oleh sejumlah siswa perempuan yang ditemui di Jakarta, Nur Aida, 15 tahun, siswi sekolah menengah pertama Negeri di Jakarta Selatan.
“Saya pilih ganti pembalut di rumah aja, karena kalau ganti di sekolah risih, apalagi toilet di sekolah kotor, bau dan gak ada sabun. Jadi tunggu di rumah aja baru ganti.” katanya.
Sementara siswi lainnya, Erna Agustin, 14 tahun, juga tetap memilih menahan diri mengganti pembalut di sekolah meski toilet di sekolahnya bersih.
“Banyak yang bilang darah haid itu darah kotor dan pembalut harus dibuang dalam keadaan bersih. Jadi makanya jangan cuci di sekolah nanti malu dan najis, Jadi meski toilet di sekolah bersih saya tetap gak nyaman kalau ganti di sekolah, karena repot harus mencuci bersih pembalut jadi biasanya saya tumpuk saja baru ganti nanti di rumah.” ucap siswi kelas 9 tersebut tersebut.
—
KlikĀ di siniĀ untuk artikel selengkapnya.
Click here to access the full article.