Sanitasi sekolah, terutama manajemen kebersihan menstruasi (MKM) merupakan bidang yang sering dilupakan dan bahkan dianggap tabu di Indonesia. Padahal, sanitasi yang baik berpengaruh besar pada kesehatan, pendidikan, dan juga kesetaraan gender.
Pada Forum Kajian Pembangunan (10/18) yang diselenggarakan oleh Australia National University – Indonesia Project dan SMERU Institute, Khamim beserta Silvia Devina (PLAN International) dan Rezanti Putri Pramana (SMERU Institute) mendiskusikan kondisi MKM di Indonesia saat ini serta kebijakan-kebijakan yang dapat diambil.
Mengutip sebuah studi dari UNESCO, Khamim, Direktur Pembinaan Sekolah Dasar di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan 1 dari 5 anak perempuan yang berusia di atas sekolah dasar putus sekolah akibat fasilitas sanitasi di sekolah yang tidak layak.
Berdasarkan penelitian di Jakarta, NTT, dan NTB yang dilaksanakan oleh SMERU Research Institue, proses pembelajaran siswa perempuan juga terganggu akibat rendahnya kesadaran MKM. “Ketika siswa perempuan mengalami menstruasi, konsentrasi dan tingkat partisipasi mereka berkurang karena mereka kurang nyaman,” jelas Rezanti. “Mereka juga akan mengurangi aktivitas sosial di luar rumah dan mengurangi waktu bermain”.
Rezanti juga menjelaskan dampak MKM yang buruk terhadap lingkungan dan kesehatan siswa. “Pembuangan [sampah menstrual] yang tidak tepat dapat mengkontaminasi air dan mengganggu kesehatan”.
Buruknya fasilitas sanitasi sekolah
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan tahun 2017, 30% sekolah dasar di Indonesia tidak mempunyai sumber air atau memiliki air yang tidak layak. “Diperlukan sinergi dengan kabupaten kota baik melalui APBD dan juga dana alokasi khusus,” ungkap Khamim.
Lebih lanjut Khamim mengatakan hanya 34% sekolah di Indonesa yang memiliki jamban yang layak dan terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan.
Alhasil, banyak siswa perempuan yang memilih untuk tidak mengganti pembalut di sekolah karena merasa tidak nyaman dan tidak aman.
Pemerintah telah melakukan intervensi dan menargetkan 90 persen sekolah di Indonesia memenuhi standard jamban yang baik serta 100 persen sekolah memiliki jamban terpisah bagi laki-laki dan perempuan.
Minsinformasi dan mitos
Mitos dan kepercayaan tradisional masih mempengaruhi praktik MKM di Indonesia. Hal ini diperparah oleh anggapan menstrasi sebagai topik yang tabu.
“Kami menemukan beberapa kasus di NTB dan NTT, Di mana guru dengan sengaja melewati bab [kesehatan reproduksi] karena dianggap kurang pantas,” ungkap Rezanti.
Silvia Devina juga menambahkan bahwa 63 persen orang tua siswa SD dan SMP tidak pernah menjelaskan tentang menstruasi kepada anak perempuannya. Lebih lagi, menurut penelitian Plan International 45 persen orang tua tidak merasa perlu menjelaskan menstruasi kepada anak laki-laki karena menganggap anaknya terlalu kecil dan akan tahu sendiri saat dewasa.
Alhasil, berdasarkan penelitian SMERU, sebagian besar siswa masih belum melakukan praktik MKM yang memadai.
“Diperlukan perningkatan pemahaman mengenai menstruasi dan MKM, terutama di lembaga pemerintah bidang kesehatan dan pendidikan,” ujar Rezanti. “Isu MKM dan menstruasi juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum SD dan SMP”, jelasnya.