FKP hosted by Lembaga Demografi FEB UI with Ricardi S. Adnan (Department of Sociology FISIP UI & Lembaga Demografi FEB UI). Friday, 20 August 2021.
KEY POINTS:
- Tren kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan dan pembatasan sosial masih fluktuatif. Pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah juga masih menghadapi banyak masalah. Pemerintah tampak tidak konsisten dalam berbagai kebijakannya yang berdampak pada kebingungan publik. Tindakan seseorang juga dipengaruhi oleh pemimpin informal dan jejaring pertemanan, kerap kali hal ini menyebabkan rendahnya kepatuhan. Masyarakat telah mencapai fase pandemic fatigue, sudah tidak sanggup untuk menahan kebosanan dan dorongan untuk kembali hidup normal.
- Untuk menyelesaikan ketiga permasalahan umum tersebut (institutional, social network, dan cognitive frame), digunakan pendekatan soft system methodology sebagai metode problem solving. Melalui metode tersebut, model konseptual dirumuskan untuk menggambarkan proses dan aktivitas pada kondisi ideal. Model tersebut kemudian dibandingkan dengan kondisi dunia nyata dengan mengkaji apakan perubahan diinginkan secara sistemik (systematically desirable) dan dapat dilakukan secara budaya (culturally feasible).
SUMMARY
- Ricardi S Adnan dari Departemen Sosiologi FISIP UI dan Lembaga demografi yang juga anggota Satgas COVID-19 bidang Perubahan Perilaku memaparkan tentang upaya perubahan perilaku masyarakat untuk menghadapi pandemi di masa depan dan tantangan sosial ekonomi. Perubahan perilaku bertujuan untuk memutus rantai penularan COVID-19 dari hulu.
- Sebenarnya masyarakat sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang pandemi, namun tingkat kepatuhan masih belum konsisten. Tren kepatuhan masyarakat masih fluktuatif, cenderung terjadi penurunan kepatuhan terutama jika ada libur panjang. Kenaikan mobilitas penduduk hampir selalu diikuti penurunan kepatuhan terhadap protokol kesehatan dan peningkatan tambahan kasus. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya kontrol terhadap perilaku dan mobilitas penduduk untuk mengendalikan laju penyebaran virus. Namun dalam praktiknya, pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah masih menghadapi banyak masalah.
- Persoalan institusional menjadi salah satu hal yang paling terlihat dalam penanganan pandemi. Pemerintah tampak tidak konsisten dalam berbagai kebijakannya yang berdampak pada kebingungan publik. Sebagai contoh adalah pembentukan tim penanganan pandemi. Pada tanggal 13 Maret 2020, dibentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pada 20 Juli 2020, gugus tugas tersebut dibubarkan berdasarkan dan kemudian dipindahkan dalam Satuan Tugas penanganan COVID-19 pada Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang dipimpin oleh Menko Perekonomian. Selain menimbulkan kebingungan, muncul juga kekhawatiran berbagai pihak terkait pengadaan barang dan pembiayaan kegiatan penanggulangan pandemi. Selain itu, pemerintah kerap melakukan pergantian istilah pembatasan sosial seperti PSBB, PSBB Transisi, PPKM, PPKM Darurat, dsb. Fasilitas pengobatan juga mengalami kelangkaan obat dan alat kesehatan ketika terjadi lonjakan kasus dan pelaksanaan vaksinasi tidak berjalan dengan baik. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa secara institusional pemerintah sangat tidak siap.
- Selain masalah institusional, terdapat juga masalah mendasar dalam jejaring sosial (social network) di masyarakat. Di dalam banyak komunitas, tindakan seseorang dipengaruhi oleh pemimpin informal dan jejaring pertemanan. Pertemanan dan kekerabatan memberikan pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pada protokol kesehatan. Jika lingkungan pertemanan dan pemimpin informal cenderung tidak patuh, maka secara keseluruhan akan berdampak pada kepatuhan masyarakat secara luas. Figur publik seperti influencer dan selebriti yang tidak patuh juga dapat berdampak pada kepatuhan masyarakat secara umum.
- Persoalan juga terdapat pada Cognitive Frame atau cara berpikir masyarakat. Masyarakat melihat protokol kesehatan sebagai penyebab susahnya ekonomi rumah tangga. Selain itu, protokol kesehatan juga dianggap menghilangkan banyak kesenangan dan kenikmatan dengan banyaknya pembatasan. Protokol kesehatan juga dilihat telah menghambat masyarakat untuk beribadah. Masyarakat telah mencapai fase pandemic fatigue, sudah tidak sanggup untuk menahan kebosanan dan dorongan untuk kembali hidup normal.
- Untuk menyelesaikan ketiga permasalahan umum tersebut (institutional, social network, dan cognitive frame), digunakan pendekatan soft system methodology sebagai metode problem solving, yaitu dengan melakukan transformasi dalam setiap permasalahan tersebut. Dalam metode ini, tiap permasalahan akan dijabarkan ke dalam beberapa root definition (RD). Sebagai contoh, RD untuk permasalahan institusional menyasar pada transformasi landasan legal terkait pandemi, kelembagaan dan legitimasi, dan peraturan daerah. Dalam RD tersebut, diformulasikan hal apa yang perlu ditransformasi (P), bagaimana caranya (Q), dan apa yang akan dicapai (R). Ada 9 RD yang dihasilkan dari ketiga permasalahan tersebut.
- Dari RD tersebut, dirumuskan beberapa model konseptual. Model konseptual menggambarkan proses dan aktivitas dalam melaksanakan aktivitas pada kondisi ideal. Model konseptual tersebut dibangun pada masing-masing RD. Sebagai contoh, untuk RD 1 dalam persoalan institusional, akan dirumuskan model konseptual terkait undang-undang terkait pandemi. Contoh lain pada persoalan social network, akan dirumuskan model konseptual terkait lembaga-lembaga sosial (pendidikan).
- Tahap terakhir setelah perumusan model konseptual, model tersebut akan dibandingkan dengan kondisi dunia nyata dengan mengkaji apakan perubahan diinginkan secara sistemik (systematically desirable) dan dapat dilakukan secara budaya (culturally feasible). Hasil dari penjabaran persoalan dan rumusan konseptual tadi dalam tahap ini akan didiskusikan dengan pejabat/lembaga terkait untuk memastikan apakah rumusan tersebut memenuhi syarat systematically desirable dan culturally feasible.