FKP dengan tuan rumah WRI Indonesia dan Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) dengan narasumber Romauli Panggabean (WRI Indonesia), Jarot Indarto, PhD (Direktur Pangan dan Pertanian, BAPPENAS) dan Arianto Patunru, PhD (Crawford School of Public Policy, The Australian National University). Selasa, 23 Juli 2024.

KEY POINTS:

  1. Studi WRI Indonesia mengungkapkan bahwa biaya tersembunyi dari sistem pangan di Indonesia jauh melampaui nilai total produksi pertanian, makanan, dan minuman. Kategori kesehatan merupakan yang terbesar, dipicu oleh obesitas, kekurangan gizi, polusi, dan faktor lainnya. Kategori lingkungan dan ketidakefisienan ekonomi juga menunjukkan biaya yang signifikan, sementara konflik sosial menambah biaya tambahan terkait sengketa penggunaan lahan.
  2. Presentasi ini menekankan pentingnya pemahaman tentang biaya tersembunyi dalam sistem pangan untuk menginformasikan keputusan kebijakan yang lebih efektif dalam mengurangi dampak negatif. Laporan tersebut juga menunjukkan kebutuhan untuk penelitian lokal lebih lanjut dan metodologi yang lebih baik untuk memahami siapa yang menanggung beban biaya ini, yang sering kali adalah masyarakat lokal dan kelompok rentan.

SUMMARY

  1. Ada pengakuan yang semakin meningkat bahwa biaya sesungguhnya dari sistem pangan melampaui transaksi ekonomi yang kasat mata. Biaya tersembunyi ini sering diabaikan dalam analisis ekonomi konvensional. WRI Indonesia telah melakukan studi untuk mengestimasi biaya tersembunyi tersebut untuk sistem pangan Indonesia. Dalam studi tersebut, biaya tersembunyi dibagi dalam empat kategori utama: biaya kesehatan, biayar lingkungan, biaya dari ketidakefisienan ekonomi, dan biaya yang ditimbulkan oleh konflik sosial.
  2. Hasil sementara studi menunjukkan bahwa biaya tersembunyi sistem pangan Indonesia besarnya bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan nilai pasar total produksi pertanian, makanan, dan minuman di Indonesia. Biaya terkait kesehatan merupakan bagian terbesar, dipicu oleh faktor-faktor seperti obesitas, kekurangan gizi, polusi, paparan pestisida, dan resistensi antimikroba. Biaya lingkungan juga cukup besar, yang terdiri dari  dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh sistem pangan termasuk deforestasi dan hilangnya habitat yang terkait dengan ekspansi pertanian.
  3. Biaya yang muncul akibat ketidakefisienan ekonomi dari sistem pangan antara lain dalam bentuk, biaya terkait mata pencaharian pedesaan, kehilangan dan pemborosan pangan, serta kebocoran pupuk. Sebagai contoh, kehilangan dan pemborosan pangan mencerminkan ketidakefisienan dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Konflik sosial, terutama yang terkait dengan penggunaan lahan seperti sengketa kelapa sawit, juga diestimasi dalam studi ini.
  4. Presentasi ini menekankan bahwa pemahaman mengenai biaya tersembunyi ini sangat penting untuk menginformasikan keputusan kebijakan yang bertujuan mengurangi dampak negatif dari sistem pangan. Presentasi ini juga menyoroti beberapa keterbatasan dalam pemahaman mengenai biaya-biaya ini. Penggunaan data global sebagai proksi untuk dampak lokal, seperti dalam perhitungan kebocoran pupuk atau biaya modal alam, menunjukkan perlunya penelitian yang lebih lokal. Ada juga keterbatasan terkait rendahnya estimasi biaya terkait konflik, karena analisis hanya berfokus pada konflik kelapa sawit, sementara banyak konflik lainnya muncul dari berbagai masalah penggunaan lahan. Penelitian di masa depan diperlukan untuk mengeksplorasi area ini lebih lanjut dan memperbaiki metodologi yang digunakan untuk menghitung biaya tersembunyi, terutama dalam memahami siapa yang menanggung beban biaya ini, yang sering kali adalah masyarakat lokal dan kelompok rentan.
  5. Jarot Indarto (Direktur Pangan dan Pertanian, Bappenas) memberikan tanggapan terhadap hasil awal dari studi tersebut, dan setuju bahwa sistem pangan secara langsung maupun tidak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Salah satu alasan mengapa sistem pangan memiliki kontribusi tinggi terhadap emisi adalah logistik, dengan rantai pasok yang panjang. Hal ini perlu dimasukkan juga dalam perhitungan. Selain itu, degradasi lahan juga akan berbiaya tinggi terutama dalam jangka panjang, berakibat pada turunnya produktivitas lahan.
  6. Penanggap kedua, Arianto Patunru (Crawford School of Public Policy, The Australian National University) menambahkan bahwa narasi studi tersebut perlu diperketat. Asumsi dalam penghitungan biaya juga perlu digambarkan dengan lebih eksplisit, sehingga dapat dipahami pembaca secara jelas. Perlu juga untuk melihat bagaimana posisi studi ini diantara studi/laporan lain yang sudah ada saat ini. Penting untuk menggambarkan biaya tersebut dalam gambaran yang dapat memberikan perspektif skala bagi pembaca. 

Mengingat studi tersebut belum difinalisas, materi presentasi belum dapat dibagikan. Silakan melihat rekaman video untuk mendalami presentasi tersebut.



Download slides