FKP dengan tuan rumah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis 24 Januari 2025 dengan pemateri Romi Bhakti Hartono (FEB Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan penanggap Diahhadi Setyonaluri (FEB Universitas Indonesia).
Crowdfunding telah berkembang pesat sebagai metode pendanaan alternatif yang memberikan peluang bagi para wirausaha untuk mendapatkan dukungan keuangan dari masyarakat lewat platform daring, sehingga mereka tidak harus bergantung pada bank atau lembaga keuangan tradisional. Salah satu platform crowdfunding terbesar adalah Kickstarter yang menawarkan berbagai model pendanaan seperti donation-based, reward-based, dan equity-based funding. Romi Bhakti Hartono (FEB Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) mempresentasikan hasil penelitiannya bersama Taufik Akhbar (FEB Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Department of Business Administration, Asia University, Taiwan) yang mengkaji adalah apakah faktor gender mempengaruhi penggalangan dana secara berulang di platform Kickstarter.
Dari 297.884 proyek yang didaftarkan di Kickstarter selama periode 2009 hingga 2016, penelitian ini menganalisa data dari 35.891 proyek yang diinisiasi oleh individu (bukan perusahaan). Tujuan penelitian adalah untuk memahami apakah perempuan memiliki kemungkinan lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk melakukan penggalangan dana untuk proyek baru secara berulang di platform Kickstarter. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan metode regresi logistik (logit model) dengan variabel utama berupa gender dari wirausaha inisiator proyek sebagai variabel independen dan keputusan untuk meluncurkan proyek penggalangan dana ketiga sebagai variabel dependen. Penelitian ini juga mempertimbangkan sejumlah variabel kontrol, seperti target pendanaan, jumlah komentar, keberadaan video, jumlah pembaruan proyek, dan panjang deskripsi proyek, untuk memastikan analisis yang akurat dan komprehensif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wirausaha perempuan cenderung memiliki kemungkinan lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam meluncurkan proyek ketiga di platform Kickstarter. Bahkan ketika proyek kedua berhasil, perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk meluncurkan proyek ketiga dibandingkan laki-laki. Sebaliknya dengan laki-laki, ada kemungkinan lebih besar dibandingkan perempuan untuk meluncurkan proyek baru di platform Kickstarter, baik jika proyek sebelumnya berhasil maupun gagal. Romi menjelaskan beberapa dugaan terkait alasan di balik lebih rendahnya kemungkinan perempuan untuk melakukan penggalangan dana berulang dibandingkan laki-kali, antara lain kemungkinan perempuan lebih cenderung fokus untuk menyelesaikan proyek yang sudah ada daripada menggalang dana untuk proyek baru dan adanya kecenderungan laki-laki lebih percaya diri (male hubris). Kedua hal ini mencerminkan stereotip gender dalam perilaku wirausaha.
Dalam tanggapanya Diahhadi Setyonaluri (FEB Universitas Indonesia) menyoroti pentingnya melihat hambatan gender tidak hanya dari sisi stereotip individu tetapi juga norma sosial dan hambatan struktural yang lebih luas. Perempuan sering kali menghadapi beban ganda sebagai pengasuh utama keluarga, yang membatasi waktu mereka untuk mengembangkan bisnis. Selain itu, bias investor yang cenderung lebih percaya pada proyek yang dipimpin laki-laki juga menjadi tantangan besar. Diah mengusulkan agar analisis diperluas dengan mempertimbangkan sektor proyek dan jenis platform crowdfunding. Misalnya, banyak proyek perempuan berfokus pada isu sosial seperti pendidikan dan kesehatan, yang bisa mempengaruhi daya tariknya terhadap investor.
Dalam sesi diskusi muncul pertanyaan menarik terkait validitas data dan faktor eksternal. Salah satu peserta menanyakan apakah data Kickstarter mencakup informasi tentang sumber pendanaan lain atau kegagalan produk di pasar. Romi menjelaskan bahwa dataset hanya mencakup informasi proyek dalam platform tersebut, sehingga faktor eksternal seperti pendanaan dari sumber lain tidak tercakup. Peserta lain menyoroti pentingnya mempertimbangkan faktor lain selain gender, seperti kualitas proposal atau visibilitas proyek, yang juga dapat memengaruhi keberhasilan crowdfunding. Romi menjawab bahwa faktor-faktor ini penting dan memerlukan analisis lebih lanjut untuk memperkaya penelitian.
Apa implikasi penelitian ini bagi Indonesia? Salah satunya terkait dengan jumlah proyek Kickstarter yang sedikit dari Indonesia, jadi mungkin ada hambatan orang Indonesia untuk meluncurkan proyeknya di platform global, misalnya karena kurangnya informasi. Selain itu, mungkin diperlukan studi untuk melihat indikator lain dan bukan performance perempuan saja karena banyak juga proyek crowdfunding yang diinisiasi laki-laki. Selain itu, mungkin diperlukan lebih banyak indikator untuk menganalisa bagaimana performance crowdfunding untuk melihat sustainability dan dampaknya pada masyarakat.
Leave A Comment