FKP dengan tuan rumah Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dengan narasumber Aditya Alta – (Kepala Peneliti CIPS), Ir. Bambang Pamuji (Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian), Edward Manihuruk (GIZ SASCI+ Living Income), dan Muhammad Nuruddin (Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia). Kamis, 31 Agustus 2023.
KEY POINTS:
- Sekitar 30% pekerja di Indonesia menggantungkan penghidupannya di sektor pertanian. Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi Indonesia menurun seiring berjalannya waktu. Para petani di pedesaan mengalami tantangan-tantangan sosial ekonomi, seperti ketimpangan wilayah dan masalah kemiskinan. Upaya pemerintah dalam bentuk program dan pembangunan pedesaan belum mencapai hasil yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
- Kebijakan harga pertanian dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah memiliki sejumlah permasalahan. Kebijakan harga tunggal (HET) dinilai kurang efektif karena tidak memperhitungkan variasi harga antar musim. Bantuan-bantuan seperti input, peralatan, dan mesin tidak selalu mempertimbangkan faktor-faktor seperti geografi dan preferensi petani. Program bantuan sosial menghadapi masalah inklusi/eksklusi, dengan data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak representatif. Selain itu, perlu perhatian lebih terhadap elemen kontekstual seperti lanskap dalam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
SUMMARY
- Sekitar 30% pekerja di Indonesia, atau 40 juta jiwa menggantungkan penghidupannya di sektor pertanian. Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi Indonesia telah menurun seiring dengan berjalannya waktu. Tantangan-tantangan sosial ekonomi akibat ketimpangan wilayah juga dialami oleh para petani di pedesaan, yang akhirnya menimbulkan masalah kemiskinan pada kesejahteraan petani. Sebagai contoh, walaupun harga beras di tingkat konsumen tinggi, petani mempunyai daya tawar yang kecil dan sering menerima tawaran harga berapapun dari perantara.
- Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah Indonesia sudah banyak melakukan program maupun pembangunan pedesaan secara umum. Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu mencapai hasil yang transformatif dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Aditya Alta, kepala peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menjelaskan studi tentang kesejahteraan petani dan bagaimana membantu petani keluar dari perangkap kemiskinan. Ada beberapa temuan studi tersebut. Pertama, terkait bantuan pemerintah. Pemerintah telah memberikan bantuan untuk menunjang produktivitas dan kesejahteraan petani. Namun bantuan-bantuan tersebut masih diliputi permasalahan. Bantuan input, peralatan, dan mesin tidak mempertimbangkan faktor geografi, teknik pertanian, atau preferensi petani. Beberapa bantuan teknologi diberikan hanya sebagai program satu kali tanpa pemeliharaan yang memadai.
- Selain itu, pemerintah memberi program bantuan sosial antara lain BLT, bantuan tunai bersyarat dari PKH, program Sembako, bedah rumah dari dana aspirasi, dan perlindungan sosial lainnya di bidang pendidikan (PIP) dan kesehatan (JKN). Permasalahan utama dari bantuan ini adalah inklusi/eksklusi, dimana data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) tidak representatif sehingga banyak bantuan yang tidak tepat sasaran. Program sembako juga dianggap membatasi pasar beras lokal dan menyulitkan petani untuk menjual beras dan menurunkan harga. Program perlindungan sosial sebenarnya efektif untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat miskin dan hampir miskin, selama bantuan dapat menjangkau kelompok tersebut dan tidak terjadi salah sasaran bantuan.
- Kedua, harga tanaman dan biaya produksi memberikan ukuran kesejahteraan petani yang tidak lengkap, akibatnya kebijakan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani sebagian besar masih berpedoman pada pendekatan berorientasi produksi. Terakhir, pemerintah sebagian besar masih kerap mengabaikan peran lanskap sebagai elemen kontekstual yang penting bagi perekonomian lokal.
- Muhammad Nuruddin, sekretaris jenderal Aliansi Petani Indonesia, menjelaskan bahwa kesejahteraan petani sangat ditentukan oleh kebijakan harga oleh pemerintah. Kebijakan harga tunggal melalui harga eceran tertinggi (HET) efektivitasnya dianggap kurang, harga tunggal ini tidak mendorong kesejahteraan petani karena harga ini tidak membantu harga jual yang berbeda antar musim. Kebijakan harga tunggal perlu dipertimbangkan untuk dibuat lebih rinci untuk jenis dan kualitas produk pertanian yang berbeda untuk mengakomodir biaya input pertanian.
- Siti Haryati dari Ditjen Tanaman Pangan Kementerian pertanian RI menjelaskan tentang kebijakan pemerintah terkait ekosistem sawah. Kesejahteraan petani utamanya memang diukur dari pendapatannya, namun selain itu perlu juga melihat biaya hidup petani, terutama modal dan lahan. Apabila pendapatan tinggi, namun diikuti dengan biaya hidup yang juga tinggi, maka kesejahteraan tidak akan meningkat. Selain faktor lahan dan modal, faktor tenaga kerja juga berpengaruh dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani. Upah tenaga kerja di sektor lain saat ini cenderung lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian, akibatnya jumlah petani berkurang dan ketertarikan anak muda menjadi buruh tani menurun. Faktor lain yang dilihat penting adalah informasi dan pengetahuan yang terkait dengan metode budidaya yang dapat meningkatkan produktivitas.
- Dirjen Tanaman Pangan Kementan memberikan fasilitasi untuk pengembangan budidaya padi dalam bentuk kawasan padi, bantuan benih padi, pengamanan hama penyakit, dan bantuan panen dan pasca panen. Cakupan fasilitas ini memang belum mencakup seluruh wilayah di Indonesia akibat terbatasnya anggaran. Harapannya dari praktik baik di beberapa wilayah yang dibantu oleh pemerintah dapat menyebar ke wilayah yang lain.
- Edward Manihuruk menjelaskan bahwa kegiatan GIZ SASCI+ fokus di perkebunan kopi dan kakao di Sulawesi Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Menurut Edward, standar kesejahteraan dilihat dari pendapatan hidup (living income), yaitu perbandingan antara biaya yang dibutuhkan keluarga petani dalam satu bulan dengan pendapatan aktual yang memperhitungkan pendapatan dari sumber lain (pekerjaan lain, tanaman lain, bisnis keluarga, dst). Selisih antara biaya dengan pendapatan aktual ini yang dilihat sebagai ukuran kesejahteraan. Namun, ukuran living income ini rentan berubah akibat perubahan subsidi pemerintah yang dapat membuat biaya menjadi tidak stabil. Perlu ke depan ada definisi umum untuk biaya hidup petani yang disetujui bersama.