FKP dengan tuan rumah Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) dengan narasumber George Sukoco (INOVASI) dan Suheini Kudus (UNICEF Indonesia). Selasa, 14 September 2021.
KEY POINTS:
- COVID-19 telah berdampak terhadap keberlanjutan pendidikan anak dan remaja terutama 1) meningkatnya anak tidak/putus sekolah. Di antara 123 ribu usia 7-18 tahun yang terdata, 89% masih bersekolah, 10% telah putus sekolah sebelum pandemi, dan 1% telah putus sekolah akibat dampak pandemi. Tiga dari 4 anak dan remaja sekolah yang dimonitor memiliki setidaknya satu faktor risiko untuk putus sekolah, antara lain bekerja, mengasuh adik, menikah, dan penyandang disabilitas.
- Dengan kondisi tersebut, anak terdampak dan mengalami penurunan capaian belajar (learning loss) dan hilangnya ketertarikan untuk belajar. Jarak antara capaian dengan standar ditemukan semakin tinggi seiring naiknya jenjang. Kesenjangan pembelajaran yang semakin lebar menunjukkan terakumulasinya kegagalan menguasai pembelajaran di setiap jenjang.
SUMMARY
- COVID-19 telah berdampak terhadap keberlanjutan pendidikan anak dan remaja terutama 1) meningkatnya anak tidak/putus sekolah dan 2) adanya learning loss yang diakibatkan oleh pembelajaran jarak jauh dan/atau pembelajaran daring. Pertama, terkait fenomena anak tidak sekolah di masa pandemi yang dijelaskan oleh Suhaeni Kudus, education specialist di UNICEF Indonesia. Anak Tidak Sekolah (ATS) merupakan anak usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah, putus sekolah tanpa menyelesaikan jenjang pendidikan, atau telah menyelesaikan suatu jenjang tapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sebenarnya proporsi ATS secara nasional di semua kelompok umur sudah menurun secara signifikan. Namun, proporsi ATS secara nasional tidak menggambarkan perbedaan besar proporsi ATS antar daerah. Hasil monitoring melalui sensus terbatas pada keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa (BLT-DD) yang mempunyai anak usia 4-18 tahun (Sep – Des 2020) menunjukkan, di antara 123 ribu usia 7-18 tahun yang terdata, 89 persen masih bersekolah, 10% telah putus sekolah sebelum pandemi, dan 1% telah putus sekolah akibat dampak pandemi. Lebih banyak anak laki-laki yang putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Mereka yang putus sekolah mayoritas adalah anak usia 16-18 tahun. Selain itu, anak-anak penyandang disabilitas lebih dari tiga kali lebih besar kemungkinannya putus sekolah dibandingkan anak-anak tanpa disabilitas.
- Tiga dari 4 anak dan remaja yang dimonitor memiliki setidaknya satu faktor risiko untuk putus sekolah. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain adalah bekerja, mengasuh adik, menikah, penyandang disabilitas, tidak adanya monitoring dari guru atau kepala sekolah, pikiran orang tua untuk menghentikan pendidikan, dan keterbatasan kepemilikan ponsel atau komputer untuk pembelajaran daring. Jika dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia, proporsi anak dan remaja dengan faktor risiko untuk putus sekolah lebih tinggi di wilayah timur Indonesia, khususnya di provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
- Ke depan, pemerintah perlu melakukan pemantauan lebih lanjut terhadap dampak COVID-19 bagi anak dan remaja yang putus sekolah maupun berisiko putus sekolah karena fenomena tersebut akan semakin jelas terlihat setelah sebagian besar sekolah mulai melaksanakan pembelajaran tatap muka. Perlu juga untuk mengidentifikasi dengan akurat anak dan remaja yang sudah putus sekolah akibat dampak COVID-19 (berdasarkan nama dan alamat). Karena penutupan sekolah berpotensi memperburuk krisis pembelajaran yang sudah ada sebelumnya, pengembangan program remedial yang tepat sangat penting untuk dilakukan untuk membantu anak dan remaja mengejar ketertinggalan belajar selama masa pandemi.
- Kedua, terkait learning loss, hal ini diakibatkan oleh tutupnya lebih dari 500 ribu sekolah dan lebih dari 60 juta anak mengikuti pembelajaran dari rumah. Dengan kondisi tersebut, anak terdampak dan mengalami penurunan capaian belajar (learning loss) dan hilangnya ketertarikan untuk belajar. Anak juga terdampak secara psikososial dengan adanya cyber bullying dan kurangnya interaksi dengan guru dan teman sebaya). Kasus kekerasan pada anak dan putus sekolah juga mengalami peningkatan.
- George Sukoco (INOVASI) menjelaskan tentang temuan awal studi tentang kesenjangan pembelajaran di masa pandemi. Studi ini bertujuan mengetahui kondisi hasil belajar dan tingkat partisipasi siswa setelah lebih dari satu tahun belajar di masa pandemi. Studi ini berfokus mengidentifikasi indikasi adanya learning loss, tingkat partisipasi siswa, dan kelompok siswa yang paling rentan pada jenjang sekolah dasar terutama siswa kelas 1-3. Learning loss memiliki tiga dimensi, yang pertama adalah kehilangan kompetensi yang telah dipelajari sebelumnya, kedua adalah tidak tuntasnya sasaran pembelajaran di jenjang tertentu dan berdasarkan standar tertentu, dan ketiga adalah dampak terakumulasi dari kegagalan menguasai pembelajaran dari tingkat sebelumnya.
- Temuan studi menunjukkan terdapat indikasi learning loss pada kemampuan literasi sebesar -0,47 standar deviasi (SD) atau setara 6 bulan progres belajar dan kemampuan numerasi sebesar -0,44 SD atau setara 5 bulan progres belajar. Angka tersebut diperoleh dengan membandingkan perubahan nilai siswa dari kelas 1 ke kelas 2 antara kondisi ideal (tidak terjadi pandemi) dengan kondisi siswa pada masa pandemi. Capaian pembelajaran juga ditemukan masih dibawah standar kompetensi khusus/darurat yang ditetapkan. Jarak antara capaian dengan standar ditemukan semakin tinggi seiring naiknya jenjang. Kesenjangan pembelajaran yang semakin lebar menunjukkan terakumulasinya kegagalan menguasai pembelajaran di setiap jenjang.
- Capaian hasil belajar bervariasi berdasarkan karakteristik keluarga/lingkungan belajar dan latar belakang siswa. Anak-anak yang tidak memiliki internet, buku teks, ponsel pintar, atau komputer memiliki kemampuan yang relatif lebih rendah. Mereka berbahasa pengantar bahasa daerah juga memiliki median kemampuan yang lebih rendah dibanding yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia. Dari sisi siswa, anak yang tidak lulus tes eksekutif, yang tidak mengikuti paud, yang ibunya berpendidikan rendah atau tidak memiliki kemampuan membaca, dan anak yang memiliki disabilitas cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah.