FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan narasumber Zulfa Sakhiyya (Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang), Asfinawati (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 2017-2021), Anwari Natari (Dosen Bahasa Indonesia STH Indonesia Jentera), dan Rival Ahmad (Dosen Ilmu Perundang-undangan STH Indonesia Jentera). Selasa, 7 Desember 2021.

KEY POINTS:

  1. Hukum, terlebih pada ranah publik, tak terlepas dari peran vital bahasa. Kebijakan, mulai dari proses produksi hingga tataran implementasi, dipengaruhi oleh bahasa—baik bahasa yang digunakan oleh pembentuk maupun pelaksana kebijakan. Tujuan dibentuknya kebijakan dapat terlihat dari bagaimana pemilihan kata dilakukan. Dari bahasa, arah kebijakan, dan politik hukum, suatu pemerintahan dapat diketahui dan dipahami. 
  2. Apabila dicermati lebih lanjut, langkah penggunaan bahasa sebagai upaya politik hukum di Indonesia masih terus berkembang hingga era reformasi hari ini. Bahasa kerap digunakan secara kabur atau multi-definisi, terutama dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi bias dan digunakan secara tidak konsisten. Bahasa Indonesia dalam perkembangannya lebih juga merefleksikan realitas politik dibandingkan linguistik sehingga kerap memberikan pesan yang ambigu. Penting ke depan untuk dibentuk lembaga khusus yang fokus membangun bahasa terutama pada bidang hukum.

 

SUMMARY

  1. Hukum, terlebih pada ranah publik, tak terlepas dari peran vital bahasa. Kebijakan, mulai dari proses produksi hingga tataran implementasi, dipengaruhi oleh bahasa—baik bahasa yang digunakan oleh pembentuk maupun pelaksana kebijakan. Tujuan dibentuknya kebijakan dapat terlihat dari bagaimana pemilihan kata dilakukan. Dari bahasa, arah kebijakan, dan politik hukum, suatu pemerintahan dapat diketahui dan dipahami. 
  2. Zulfa Sakhiyya dari PSHK menjelaskan suatu contoh dimana bahasa berkembang dalam perkembangannya berubah akibat proses sosial dan politik. Karena bahasa Indonesia masih dalam perkembangan, sehingga kerap terjadi problematika penerjemahan konsep hukum dari bahasa asing. Ia menjelaskan analisis bahasa bagaimana kata policy diterjemahkan menjadi “kebijakan”. Dalam bahasa selain Indonesia, kata policy sangat dekat dengan ‘politik’. Ini mengukuhkan keanehan kata ‘kebijakan’ dalam bahasa Indonesia. Apakah kebijakan selalu ‘bijak’? mengapa ada kebijakan yang tidak bijak? Mengapa policy diterjemahkan menjadi kebijakan?
  3. Bahasa Indonesia dalam perkembangannya lebih merefleksikan realitas politik dibandingkan linguistik. Bahasa Indonesia adalah produk perencanaan, rekayasa, dan program pembangunan bahasa. Bahasa Indonesia dipelajari dari institusi resmi dan profesional. Standardisasi bahasa pada masa Orde Baru dapat dilihat juga sebagai upaya mengendalikan bahasa sebagai cara untuk mendominasi kesadaran publik. Kata ‘kebijakan’ bisa menjadi tabir untuk menutupi proses politik yang terjadi. Kata kebijakan adalah sebuah konsep yang sarat dengan kontradiksi arti; kebijakan adalah kata yang dapat dikodekan dan didekodekan untuk menyampaikan pesan yang sangat ambigu.
  4. Apabila dicermati lebih lanjut, langkah penggunaan bahasa sebagai upaya politik hukum masih terus berkembang hingga era reformasi hari ini. Bahasa kerap digunakan secara kabur atau multi-definisi, terutama dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi bias dan digunakan secara tidak konsisten. Dalam proses legislasi misalnya, terdapat beberapa pembahasaan yang termuat namun dikaburkan, tetapi kemudian dimunculkan dalam peraturan turunan. Selain itu juga terdapat praktik pembahasaan yang sebenarnya merujuk pada satu hal tertentu, namun dikomunikasikan kepada publik dalam pengertian yang lain.
  5. Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 2017-2021, memberikan contoh atas fenomena dimana bahasa sengaja dibuat bias, misalnya pada kasus penghinaan terhadap pihak tertentu yang kemudian dipersepsikan sebagai “ujaran kebencian”. Padahal ujaran kebencian yang termuat dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik adalah segala tindakan yang memantik kebencian pada bangsa, ras, dan agama tertentu, sehingga menjadi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan. Dalam banyak kasus yang terjadi baru-baru ini, seseorang hanya menyampaikan kritik pada pihak tertentu, namun kemudian secara represif dikenakan pada pasal ujaran kebencian.
  6. Anwari Natari, Dosen Bahasa Indonesia STH Indonesia Jentera, menjelaskan urgensi lembaga khusus yang fokus membangun bahasa terutama pada bidang hukum. Profesor Mardjono Reksodiputro pernah menyampaikan bahwa bahasa memiliki peran utama dalam pembentukan hukum, “dalam hukum, bahasa adalah yang utama”. Inisiatif tersebut juga sebagai upaya untuk menetralisir fungsi bahasa, sehingga tidak dijadikan alat untuk mencurangi produk hukum dan kebijakan guna melanggengkan kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Selain itu, literasi bahasa Indonesia Hukum harus juga menjadi mata kuliah wajib bagi para penegak hukum karena dapat menyangkut nyawa manusia.
Download slides