FKP dengan tuan rumah Badan Pusat Statistik dengan narasumber Realita Eschachasthi (BPS) dan Akhmad Mun’im (BPS). Thursday, 10 Juni 2021.
KEY POINTS:
- Dua studi dipresentasikan pada acara ini. Studi pertama menganalisa bagaimana eksportir Indonesia menerapkan penyesuaian dalam menghadapi krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat 40% eksportir yang keluar dari negara tujuan ekspor, dan 14% melakukan penurunan nilai ekspor. Ekspor pada produk kapital mengalami dampak yang paling besar dibandingkan consumption goods dan intermediate goods, yaitu sebesar -40%. Pandemi ini berdampak negatif terhadap semua jenis eksportir baik eksportir besar maupun kecil.
- Studi kedua menganalisa dampak UU No.4/2009 yang mewajibkan perusahaan tambang mineral agar memurnikan hasil tambangnya sebelum diekspor. Peraturan ini kemudian didukung dengan peningkatan pajak ekspor untuk komoditas mineral mentah melalui Peraturan Menteri Keuangan. Hasil dari simulasi menunjukkan apabila pengenaan pajak ekspor diikuti dengan kenaikan produktivitas industri mineral dan metal di atas 3%, maka output akan meningkat dan PDB Indonesia dapat tumbuh positif.
SUMMARY
- Pandemi COVID-19 berdampak sangat besar terhadap kinerja ekspor Indonesia. Sebagai contoh, ekspor bulan Mei 2020 turun hampir sepertiga dari tahun sebelumnya. Realita Eschachasthi dari Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan hasil studi tentang dampak terhadap ekspor Indonesia, khususnya terkait bagaimana eksportir Indonesia menerapkan penyesuaian dalam menghadapi krisis ini belum menjadi perhatian, jalur ekspor apa yang turun, bagaimana eksportir melakukan penyesuaian, dan dampak COVID-19 terhadap kinerja ekspor.
- Terdapat dua kategori untuk melihat perubahan perilaku eksportir yaitu extensive margins dan intensive margins. Extensive margins adalah apabila eksportir melakukan entry atau exit ekspor di suatu negara, sedangkan intensive margins artinya eksportir menambah atau mengurangi nilai ekspor. Beberapa penelitian terdahulu terkait perubahan perilaku eksportir pada saat krisis menunjukkan bahwa Asian Financial Crisis berdampak negatif pada kedua jenis margin di AS. Ada juga studi yang menunjukkan bahwa eksportir lebih banyak melakukan penyesuaian intensive margin di Belgia akibat dampak dari krisis 2008.
- Hasil studi Eschachasthi menunjukkan bahwa terdapat 40% eksportir Indonesia yang keluar dari negara tujuan ekspor (exit transaction), dan 14% melakukan penurunan nilai ekspor. Ekspor pada produk kapital mengalami dampak yang paling besar dibandingkan consumption goods dan intermediate goods, yaitu sebesar -40%. Penurunan yang dalam pada capital goods menunjukkan bahwa pandemi berdampak besar pada sektor manufaktur yang labor intensive, hal ini sejalan dengan turunnya Purchasing Managers’ Index (PMI) pada kuartal kedua tahun 2020.
- Pandemi ini berdampak negatif terhadap semua jenis eksportir baik eksportir besar maupun kecil. Ekspor kemungkinan akan membutuhkan waktu lama untuk pulih dengan kondisi pandemi yang masih terus berlanjut, sehingga dibutuhkan bantuan sementara dan keringanan pinjaman untuk semua jenis eksportir. Dari pengalaman krisis sebelumnya, restriksi ekspor (turning inward policy) tidak dapat membantu produksi eksportir dan secara umum justru dapat mengancam rantai nilai global.
- Berikutnya Akhmad Mun’im dari Badan Pusat Statistik memaparkan studi tentang peningkatan nilai tambah mineral di Indonesia. Tahun 2009, pemerintah menerbitkan UU No.4/2009 yang mewajibkan perusahaan tambang mineral untuk memurnikan hasil tambangnya sebelum diekspor. Peraturan ini dipertegas secara teknis melalui Peraturan Menteri ESDM dan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan mengatur antara lain peningkatan pajak ekspor untuk komoditas mineral mentah dengan tujuan untuk meningkatkan nilai ekspor mineral Indonesia.
- Studi-studi sebelumnya menunjukkan pembatasan dan pemberlakuan pajak ekspor pada produk mentah dapat memberikan dampak negatif terhadap sektor industri produk mentah tersebut, namun berdampak positif terhadap sektor hulu. Studi ini mengkaji dampak regulasi pajak ekspor Indonesia terhadap perekonomian dengan menggunakan Social Accounting Matrix (SAM) 2011 sebagai kerangka kerja dan simulasi CGE statis sebagai perangkat analisis. Ada dua simulasi yang dilakukan: (1) Memberikan pajak ekspor pada sektor mineral (MNL) sebesar 20%, 40%, dan 60%; dan (2) memberikan pajak ekspor pada sektor MNL sebesar 60% diikuti dengan peningkatan produktivitas sektor Mineral Processing Industry (MIP) dan Metal Processing Industry (MEP) sebesar 1%, 3%, dan 5%. Tujuan simulasi pertama adalah untuk melihat dampak pajak ekspor tanpa kenaikan produktivitas, sedangkan simulasi kedua memasukkan faktor kenaikan produktivitas industri.
- Hasil dari simulasi pertama menunjukkan bahwa pengenaan pajak ekspor pada sektor MNL berdampak negatif pada output dan suplai domestik sektor ini sehingga mengakibatkan ekspor sektor tersebut turun. Di sisi lain, impor untuk sektor mineral meningkat akibat suplai domestik yang menurun. Kebijakan pengenaan pajak ekspor juga memberi efek negatif terhadap PDB Indonesia.
- Hasil dari simulasi kedua menunjukkan bahwa meskipun produktivitas MIP dan MEP meningkat, pengenaan pajak ekspor pada sektor MNL tetap memberi dampak negatif pada output dan suplai domestik kedua sektor tersebut. Namun ketika produktivitas kedua industri tersebut terus meningkat, output keduanya juga turut meningkat. Apabila ada peningkatan produktivitas sektor MIP dan MEP (ditunjukkan pada SIM 2) hingga di atas 3%, PDB Indonesia dapat tumbuh positif. Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan produktivitas dalam pertumbuhan sektor dan perekonomian secara keseluruhan. Selain peningkatan PDB, Indonesia juga mendapat tambahan penerimaan pajak ekspor.
- Dari hasil studi ini, rekomendasi bagi pemerintah adalah bahwa implementasi pengenaan pajak ekspor komoditas mineral harus diikuti dengan kebijakan lainnya di sektor hilir guna memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian. Pembangunan pabrik smelter dapat meningkatkan nilai tambah komoditas mineral Indonesia serta turut mendorong peningkatan investasi. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk mendistribusikan kembali pendapatan pajak tambahan dari pajak ekspor mineral untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.