FKP dengan tuan rumah KOMPAK dengan narasumber Meutia Aulia Rahmi (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia/PUSKAPA Universitas Indonesia) dan pembahas Omas Bulan Samosir (Lembaga Demografi, Universitas Indonesia). Selasa, 16 Maret 2021.
KEY POINTS:
- Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk memberikan dokumen kependudukan kepada seluruh penduduk tanpa terkecuali. Masalahnya, sistem administrasi kependudukan masih menghadapi tantangan pencatatan dan penjangkauan pada kelompok tertentu. Kebijakan kependudukan harus secara spesifik menangani kelompok rentan tersebut.
- Terdapat 3 lapisan dalam kerentanan administrasi kependudukan: akibat terhambatnya akses, akibat layanan yang tidak responsif, dan akibat identitas sosial. Pemerintah perlu mempermudah akses layanan, menyertakan definisi penduduk rentan, dan mengarusutamakan penghilangan stigma pada kelompok rentan. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus mendorong mekanisme pengaduan untuk memperkuat akuntabilitas sosial. Pemenuhan kebutuhan dokumen kelompok rentan perlu didorong dengan membentuk fasilitator adminduk di desa.
SUMMARY
- Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk memberikan dokumen kependudukan kepada seluruh penduduk tanpa terkecuali. Dokumen kependudukan tersebut di antaranya adalah Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Kematian, dan memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Administrasi kependudukan (adminduk) yang inklusif dan akuntabel akan mendukung pelayanan dasar yang lebih baik dan alokasi sumber daya yang berbasis data. Data penduduk yang berkualitas akan menjamin perencanaan pembangunan yang lebih efektif, dan sebaliknya perencanaan pembangunan yang efektif akan menghasilkan data yang berkualitas.
- Adminduk yang inklusif dan akuntabel harus dapat menghitung dan mencatat semua orang dan setiap peristiwa penting (kepindahan, kelahiran, dan kematian). Masalahnya, sistem administrasi kependudukan masih menghadapi tantangan pencatatan & penjangkauan pada kelompok tertentu, antara lain anak-anak, penduduk miskin, penduduk dengan status perkawinan tertentu, dan penduduk berkebutuhan khusus. Berdasarkan data SUSENAS 2019, masih ada 7.5 juta anak yang tidak memiliki NIK dan ada 8 juta anak yang belum memiliki akta kelahiran. Cakupan pencatatan penduduk masih mengalami ketimpangan dan kerentanan. Meskipun cakupan akta kelahiran sudah mencapai target 85%, namun angkanya masih rendah untuk anak yang lebih muda. Pada keluarga miskin tingkat cakupan akta kelahiran juga masih timpang dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Cakupan akta kelahiran di wilayah pedesaan juga masih rendah dibandingkan di perkotaan. Selain itu, kerentanan juga ditemukan pada perkawinan yang tidak tercatatkan, khususnya dalam kelompok miskin. Anak dari orang tua dengan disabilitas fisik juga memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memiliki akta kelahiran. Kebijakan kependudukan harus secara spesifik menangani kelompok rentan tersebut.
- Studi dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) mencoba memetakan kelompok rentan dalam administrasi kependudukan. Terdapat 3 lapisan dalam kerentanan administrasi kependudukan (dari lapisan terluar ke dalam): akibat terhambatnya akses, akibat layanan yang tidak responsif, dan kerentanan akibat usia, gender, kebutuhan khusus, dan identitas agama, etnis, seksual. Semakin dalam lapisan, data dan informasi dari orang-orang yang ada di lapisan tersebut akan semakin sulit didapat.
- Berdasarkan hasil semi-systematic literature review, studi ini memetakan kelompok rentan adminduk menjadi 12 kelompok, dimana kelompok masyakarat bisa mengalami lebih dari satu jenis kerentanan. Tiap lapisan memiliki beberapa kelompok rentan yang dikelompokkan dalam kategori penyebab kerentanan.
- Akibat terhambatnya akses: penduduk di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, penduduk miskin dan sangat miskin yang terkendala ekonomi untuk menjangkau layanan, dan penduduk buta huruf dan berpendidikan rendah yang tidak memiliki kemampuan untuk menjangkau layanan.
- Akibat layanan yang tidak responsif: penduduk yang tinggal berpindah-pindah, penduduk yang memiliki disabilitas, penduduk dengan status perkawinan khusus, penduduk dalam panti atau penjara, penduduk dalam keadaan khusus (bencana atau perang), penduduk dengan masalah kewarganegaraan, dan penduduk tanpa dokumen kependudukan apapun.
- Akibat identitas sosial: penduduk yang identitasnya terabaikan oleh negara (agama minoritas, penghayat, pencari suaka) dan penduduk yang mendapat stigma dari masyarakat (orang dengan gangguan jiwa, identitas seksual, etnis minoritas, anak di luar pernikahan sah).
- Ada beberapa rekomendasi untuk perbaikan administrasi kependudukan.
- Di tingkat nasional, Kemendagri perlu memperluas Permendagri 96/2019 tentang Pendataan Dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan, dan dalam jangka panjang merevisi UU Adminduk. Pemerintah perlu mempermudah akses layanan, menyertakan definisi penduduk rentan, dan mengarusutamakan penghilangan stigma pada kelompok rentan.
- Pemerintah daerah perlu mengoptimalkan peran layanan dasar untuk mengidentifikasi kebutuhan dokumen kelompok rentan, misalnya dengan membentuk fasilitator adminduk di desa.
- Perlu ada kerjasama lintas sektor antara pemerintah dengan organisasi masyarakat sipil yang turut melibatkan kelompok rentan, melalui kelembagaan di desa maupun kabupaten. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus mendorong mekanisme pengaduan untuk memperkuat akuntabilitas sosial.
- Studi ini menyisakan beberapa pertanyaan penting: Ada berapa banyak masyarakat rentan dalam administrasi kependudukan? Lalu, kelompok rentan ini menjadi tanggung jawab siapa? Kerentanan adminduk ini sangat erat kaitannya dengan kerentanan sosial, apakah artinya ini juga menjadi tanggung jawab kementerian sosial? Menurut Omas Bulan Samosir, penting bagi pemerintah untuk berinisiatif menjemput bola, dengan petugas dukcapil mendatangi kelompok rentan secara langsung. Laporan penduduk dengan bottom-up strategy, perlu mendorong fasilitator kependudukan di desa untuk kembali dihidupkan. Terakhir, perlu ada peningkatan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) untuk meningkatkan inklusivitas kelompok rentan dalam adminduk.